Senin 05 Apr 2021 09:01 WIB

Pasukan Eritrea Menarik Diri dari Tigray Ethiopia

AS, Jerman, Prancis, dan negara G7 menyerukan pasukan Eritrea dengan cepat

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Konflik Ethiopia dan Eritrea
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI -- Kementerian Luar Negeri Ethiopia mengatakan, pasukan Eritrea mulai menarik diri dari wilayah Tigray. Sebelumnya ada peningkatan laporan atas pelanggaran hak asasi manusia termasuk pemerkosaan, penjarahan, dan pembunuhan warga sipil yang dilakukan oleh pasukan Eritrea. 

"Pasukan Eritrea yang telah melintasi perbatasan dan Pasukan Pertahanan Nasional Ethiopia telah mengambil alih menjaga perbatasan nasional," ujar pernyataan Kementerian Luar Negeri Ethiopia.

Baca Juga

Pada Jumat (2/4), Amerika Serikat, Jerman, Prancis, dan negara-negara G7 lainnya menyerukan penarikan tentara Eritrea dengan cepat, tanpa syarat, dan dapat diverifikasi. Selama berbulan-bulan, Eritrea dan Ethiopia membantah kehadiran pasukan Eritrea meskipun ada puluhan saksi mata. 

Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed mengakui kehadiran pasukan Eritrea di Tigray. Namun Eritrea masih belum mengakui bahwa pasukannya berada di Ethiopia dan menolak untuk bertanggung jawab atas pelanggaran yang terjadi di wilayah itu. 

Abiy mengatakan pasukannya telah melakukan operasi besar-besaran selama tiga hari terakhir, saat melawan musuh di wilayah barat dan utara. Dia tidak menyebut secara spesifik Tigray tapi wilayahnya terletak di utara.

Ethiopia mengirim pasukannya ke Tigray pada November untuk berperang melawan TPLF, yang saat itu merupakan partai penguasa regional, yang telah menyerang pangkalan militer di wilayah tersebut. Pada akhir November, Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) menarik diri dari ibu kota regional Mekelle dan pemerintah Ethiopia mengumumkan kemenangan.

Baca juga : Deklarasi 103 Mantan Perwira AL Turki Ajak Kudeta Diselidiki

Listrik dan sambungan telepon ke Tigray terputus selama empat hari terakhir, sehingga sulit untuk memverifikasi penarikan dari Eritrea. Wartawan Reuters di Tigray bulan lalu melihat tentara Eritrea di kota-kota besar dan jalan-jalan utama.

Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) mengatakan, terjadi "bentrokan dan penyergapan yang dilaporkan di sebagian besar wilayah". Bulan lalu, sebuah organisasi bantuan juga menyaksikan penyergapan terhadap konvoi militer dan eksekusi warga sipil di luar hukum di jalan utama. Kementerian Luar Negeri mengatakan akses penuh ke kawasan itu sekarang telah diberikan kepada organisasi kemanusiaan.

"Di beberapa bagian Tigray Selatan dan Tenggara, misalnya, akses telah dibatasi selama lebih dari sebulan dan jalan dari Alamata ke Mekelle tetap ditutup, menghalangi operasi kemanusiaan di daerah tersebut," ujar pernyataan OCHA. 

Kementerian Luar Negeri mengatakan penyelidikan bersama dengan para ahli eksternal atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia akan segera dimulai. Kementerian mendesak donor untuk mengirim lebih banyak makanan dan bantuan medis. 

Asal mula konflik terjadi ketika Abiy mulai berkuasa pada 2018 lalu. Dia melakukan reformasi demokrasi dan negosiasi untuk mengakhiri konflik dengan Eritrea. Tetapi dia membubarkan Ethiopian People's Revolutionary Democratic Front (EPRDF) yang sudah berkuasa selama hampir 30 tahun. 

EPRDF adalah koalisi partai berdasarkan etnis. TPLF mendominasi koalisi tersebut dan mengumpulkan kekuatan sebagai etnis minoritas. Jumlah penduduk Tigray hanya 6 persen dari total populasi di Ethiopia.

 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement