Jumat 09 Apr 2021 13:06 WIB

Rasialisme dan Medsos dalam Sepak bola Modern

Liverpool baru saja menyerukan tindakan pencegahan untuk kasus rasialisme.

Rep: Anggoro Pramudya/ Red: Muhammad Akbar
 Pemain berlutut untuk mendukung antirasialisme sebelum pertandingan sepak bola Liga Premier Inggris antara Aston Villa dan Newcastle United di Birmingham, Inggris, 23 Januari 2021.
Foto: EPA-EFE/Clive Brunskill
Pemain berlutut untuk mendukung antirasialisme sebelum pertandingan sepak bola Liga Premier Inggris antara Aston Villa dan Newcastle United di Birmingham, Inggris, 23 Januari 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, MERSEYSIDE -- Sistem monarki dalam pemerintahan Inggris kembali membuat geger masyarakat dunia dengan keputusan hengkangnya Pangeran Harry dan Meghan Markle dari Kerajaan Inggris.

Dalam kutipannya bersama Oprah Winfrey pada acara "Duke and Duchess of Sussex" Maret 2021 kemarin, baik Harry maupun Meghan keduanya secara tegas meminta untuk mundur sebagai penghuni Istana Buckingham.

Salah satu alasan yang membuat keduanya angkat koper adalah kentalnya masalah rasialisme yang terjadi di dalam lingkaran kerajaan. Fragmen Harry dan Meghan menggabarkan betapa gelapanya masalah humanisme di puncak tertinggi sistem pemerintahan Negeri Ratu Elizabeth.

Tapi, kasus tak kalah miris masih saja terjadi pada industri sepak bola modern. Beberapa seniman lapangan hijau dibuat kecewa dan kesal dengan aksi pelaku rasisme melalui media sosial (medsos).

Salah satu klub top Liga Primer Inggris, Liverpool, baru saja menyerukan tindakan pencegahan untuk kasus rasialis melalui medsos yang menimpa pemainnya, Tren Alexander-Arnold, Naby Keita, serta Sadio Mane.

Ketiganya mendapat pesan emoji tidak pantas dan komentar rasial melalui Instagram setelah Liverpool kalah 1-3 dari Real Madrid pada leg pertama perempat final Liga Champions 2020/2021, Rabu (7/4).

"Sekali lagi kami dengan sedih mendiskusikan pelecahan rasialisme yang menjijikan setelah pertandingan antara Liverpool dan Real Madrid. Ini tidak bisa diterima dan Liverpool mengutuk semua bentuk diskriminasi," demikian pernyataan resmi klub dilansir the Guardian, Kamis (8/4).

Kasus rasialisme dalam industri sepak bola sebenarnya bukan hal baru. Namun, setelah absennya penonton ke stadion, tudingan dan hujatan rasis justru mengarah secara langsung ke pribadi pemain via medsos.

Pemain sayap Arsenal Willian Borges menuntut pihak berwenang untuk berbuat lebih banyak terkait masalah rasialisme yang terjadi kepada para pemain sepak bola melalui medsos. Ia berharap pihak berwajib dapat mengidentifikasi pelaku yang menyebarkan kejahatan tersebut.

"Saya telah melihat beberapa orang menghapus media sosial mereka karena rasialisme dan pelecehan dan saya ingin pihak berwajib melakukan itu," katanya dikutip Daily Mail.

Isu soal rasialisme dalam medsos tengah ramai diperbincangkan. Tak hanya perlakuan rasialis, beberapa kasus seperti tekanan dan teror berlebih membuat korban merasa depresi.

Peristiwa lain soal masalah depresi akibat medsos menyebabkan mundurnya pelatih Fiorentina Cesar Prandelli. Prandelli menyampaikan secara terbuka pilihannya mundur sebagai pelatih karena kesehatan mentalnya terganggu.

Serangan secara langsung membuat beberapa pemain dan pelatih mengaku mengalami gangguan kesehatan mental dan trauma. Willian mengaku sempat merasa khawatir untuk menggunakan ponsel pintarnya.

"Ya, terkadang saya merasakan ketakutan. Kami manusia. Kami melakukan yang terbaik untuk membantu tim, kami ingin menang, dan kami tidak ingin kalah. Tapi, hasil akhir terkadang berkata lain, dan mereka datang mengucapkan kata-kata menyakitkan," ujar pemain berusia 32 tahun.

Inilah ancaman yang dihadapi oleh sepak bola modern. Kehadirannya tak lagi di lapangan, tapi juga di jagat maya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement