Rabu 21 Apr 2021 22:45 WIB

Eks Ketua BPK Nilai SIN Pajak Bisa Cegah Korupsi

Dengan penerapan SIN, setiap penerimaan uang akan diketahui oleh sistem perpajakan.

Pegawai melayani wajib pajak yang akan melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak di KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu, Jakarta, Rabu (31/3/2021). Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu mencatat pelaporan SPT Pajak hingga Rabu (31/3/2021) pukul 08.37 WIB sebanyak 10,54 juta wajib pajak baik Orang Pribadi (OP) maupun Badan telah melaporkan SPT tahunan dengan tahun pajak 2020.
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Pegawai melayani wajib pajak yang akan melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak di KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu, Jakarta, Rabu (31/3/2021). Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu mencatat pelaporan SPT Pajak hingga Rabu (31/3/2021) pukul 08.37 WIB sebanyak 10,54 juta wajib pajak baik Orang Pribadi (OP) maupun Badan telah melaporkan SPT tahunan dengan tahun pajak 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo menilai, penerapan identitas tunggal atau single identity number (SIN) pajak akan mampu mencegah tindak pidana korupsi. Menurut dia, SIN akan mewajibkan semua pihak baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga, swasta, dan pihak lainnya untuk saling membuka dan menyambung sistemnya ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu, baik yang bersifat rahasia maupun tidak rahasia, finansial maupun bukan finansial.

"Mudah-mudahan kalau SIN ini terjadi, menurut kami semuanya di Indonesia bisa terlaksana apa yang namanya pencegahan tipikor (tindak pidana korupsi),"kata Hadi saat webinar bertajuk Mampukah SIN Pajak Mencegah Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Rabu (21/4). 

Hadi yang juga pernah menjabat sebagai direktur jenderal pajak Kemenkeu pada 2001 ini menjelaskan, dengan penerapan SIN, setiap penerimaan uang akan secara langsung diketahui oleh sistem perpajakan. Sehingga, sistem perpajakan akan memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri pajaknya.

"Yang dihitung adalah setiap tambahan kemampuan ekonomi, dari manapun juga, dengan nama bentuk apapun juga, serta yang dapat dikonsumsi atau menambah kekayaan," tutur Hadi.

DJP nantinya, lanjut Hadi, dapat memeriksa untuk mengetahui data yang dipandang kurang dan berwenang untuk meminta wajib pajak melengkapi data. Jika wajib pajak menolak, maka bisa dikenakan sanksi pidana."Wajib pajak akan berpikir ulang untuk memperoleh harta secara ilegal, seperti korupsi. Apalagi dalam kasus korupsi dikenal pembuktian terbalik atau wajib pajak diberikan kesempatan untuk membuktikan hartanya diperoleh secara ilegal,"ujarnya.

Hadi menuturkan, proses pembentukan SIN pajak sebenarnya sudah ada sejak era kepemimpinan Presiden Soekarno dengan Perppu Nomor 2 Tahun 1965 yang meniadakan rahasia bagi aparat pajak, hingga era Presiden Susilo Bambang Yudhoyonodengan Pasal 35 UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Tiada Non-Rahasia bagi Aparat Pajak. Selain itu, pada kepemimpinan Presiden Jokowi dengan penerbitan UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang Tiada Rahasia bagi Aparat Pajak.

Kendati demikian, Hadi menduga SIN pajak belum terwujud karena adanya peraturan pelaksananya yang inkonsisten. Padahal, kata dia, pada 2011, BPK meminta Presiden untuk mengimplementasikan pasal 35A UU Nomor 28 Tahun 2007 sesuai peraturan perundang-undangan yang ada. Sehingga, terbit PP Nomor 31 Tahun 2012 beserta tujuh PMK turunannya.

Namun, dikarenakan penerapan PP yang dikeluarkan tidak konsisten, hal ini berdampak pada inkonsistennya semua kewenangan untuk menerapkan SIN pajak."Kalau ini kita luruskan akan banyak dampak-dampak yang baik nantinya, antara lain SIN pajak mampu mencegah korupsi. Jadi hal-hal ini yang harus diluruskan pejabat yang berwenang," tegas dia.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement