REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga mengapresiasi negara-negara The European Free Trade Association (EFTA) atau Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa yang telah menandatangani perjanjian ekonomi komprehensif Indonesia-EFTA CEPA. Menurut Wamendag, itu merupakan peluang yang sangat positif, termasuk dalam kaitannya dengan penerimaan produk kelapa sawit Indonesia.
Selama ini kelapa sawit Indonesia telah diperlakukan berbeda dengan produk minyak nabati lainnya di kawasan Uni Eropa. Wamendag menilai bahwa penerimaan EFTA terhadap produk kelapa sawit Indonesia ini menunjukkan bahwa resistensi sebenarnya tidak dilakukan oleh semua negara Eropa.
Bahkan, kata Jerry, di Uni Eropa hanya beberapa negara yang kebetulan punya pengaruh di parlemen yang menghambat perdagangan kelapa sawit Indonesia di kawasan itu.
“Sebanyak empat negara, yaitu Lietchtenstein, Swiss, Norwegia dan Islandia, telah menambah deretan negara-negara Eropa yang menerima kelapa sawit kita. Kalau kita bertemu dengan pemerintah maupun parlemen di banyak negara Eropa, sebenarnya memang menunjukkan sambutan yang positif.” Kata Jerry dalam keterangannya, Jumat (7/5).
Melihat kecenderungan itu, ia mengaku semakin optimis dengan arah perjuangan Indonesia untuk menghapus diksriminasi ini. Pada intinya, menurut Jerry, negara-negara Uni Eropa harus melihat persoalan sawit secata obyektif dan proporsional. Kebutuhan minyak nabati semakin besar di seluruh dunia. Tidak semua sumber minyak nabati bisa memenuhi kebutuhan dengan efisien seperti kelapa sawit.
“Dilihat secara relatif dan objektif. Kalau kita menanam sumber minyak nabati lain seperti rapeseed, sebenarnya kebutuhan lahan dan dampak ekologisnya 6 kali lebih besar dari kelapa sawit. Jadi secara ekologis dan ekonomi tidak efisien. Justru kelapa sawit menjadi solusi yang tepat untuk itu.” Papar Jerry.
Jerry juga menilai bahwa teknologi perkebunan, pemupukan, pengolahan air, pengolahan dan berbagai hal yang berkaitan dengan industri kelapa sawit terus berkembang. Ini membuat kelapa sawit akan makin efisien secara ekologis. Selain itu standarisasi produksi dan lingkungan kelapa sawit juga semakin ketat.
“Jadi sebenarnya produk kelapa sawit kita itu sudah melewati berbagai standarisasi dan penjaminan mutu produk serta dampaknya dalam berbagai sisi. Banyak sertifikasi yang harus dipenuhi dan itu tidak mudah karena melibatkan berbagai Lembaga yang kompeten,” katanya.
Oleh karena itu, ia berharap parlemen dan eksekutif Uni Eropa melihat dengan kerangka yang lebih luas, bukan hanya dalam perspektif persaingan dagang. Ia berharap kelapa sawit justru memicu inovasi baru untuk menghasilkan minyak nabati yang makin baik dan murah.
Indonesia saat ini sedang bersiap menghadapi sidang-sidang mengenai diskriminasi kelapa sawit oleh Uni Eropa di WTO. Sidang kasus berkode DS 593 tersebut dihadapi optimistis oleh Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Perdagangan.