Penegakan Aturan Tata Ruang Semakin Mendesak
Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Suasana deretan permukiman dan gedung bertingkat di Jakarta. Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional dalam kegiatan audit tata ruang dari tahun 2015-2020 memproses lebih dari 3.200 pelanggaran pemanfaatan ruang di 121 kabupaten-kota seluruh Indonesia, dimana temuan pelanggaran terbanyak terjadi di perkotaan. | Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Sejumlah pakar belakangan memberikan prediksi Jakarta akan tenggelam dalam beberapa puluh tahun mendatang. Terbaru, Fitch Solutions Country Risk & Industry Research, menyebut 2050 sebagai tahun terjadinya Jakarta tenggelam.
Pakar tata ruang Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Bambang Hari Wibisono mengatakan, prediksi-prediksi semacam ini menjadi peringatan penting. Terutama, tentang ancaman-ancaman yang dihadapi Jakarta pada masa mendatang yang menuntut langkah serius untuk dilakukan saat ini.
"Saya kira ini bukanlah sesuatu yang mustahil, tapi keniscayaan yang akan terjadi kalau Jakarta tidak secara cermat melakukan pengelolaan pembangunannya. Ini suatu peringatan yang kita perlu perhatikan," kata Bambang, Senin (7/6).
Ia menilai, salah satu yang penting dilakukan menggunakan instrumen penataan ruang secara ketat. Tata ruang seharusnya sudah mengatur mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, mana yang kawasan budi daya dan mana yang kawasan fungsi lindung.
Bambang merasa, pembangunan fisik di Jakarta masih hanya mempertimbangkan soal kapasitas atau daya tampung, namun belum serius memikirkan daya dukung. Sebab, ada kebutuhan penduduk untuk memiliki kualitas hidup yang baik dan perlu dipikirkan.
"Setiap orang tentu membutuhkan air bersih, listrik dan input lainnya, sementara dari segi output mereka akan menghasilkan limbah yang harus diolah. Penting untuk diperhatikan apa Jakarta memiliki kemampuan input dan output ini," ujar Bambang.
Jumlah penduduk Jakarta telah mencapai lebih dari 10 juta, dengan luas wilayahnya hanya 661 kilometer persegi. Jumlah yang terus meningkat membawa konsekuensi ke kebutuhan ruang serta sarana dan prasarana untuk mendukung kehidupan masyarakat.
Padahal, pembangunan fisik memberi beban bagi lahan. Sebab, dengan dibangun secara fisik itu akan menjadi beban bagi tanah, dan di sisi lain juga kebutuhan air bersih yang diperlukan masyarakat disedot terus dari bawah permukaan tanah.
Lahan manapun pasti akan mengalami suatu penurunan. Ini yang memicu kekhawatiran ancaman tergenangnya Jakarta. Sebab, idealnya jumlah penduduk di suatu wilayah dibatasi menurut daya dukung dari wilayah tersebut.
Namun, dalam kasus Jakarta ini menjadi mustahil untuk dilakukan karena daya tarik kota ini masih sangat besar sebagai pusat dari beragam aktivitas. Meski begitu, belum terlambat melakukan intervensi, menghentikan ancaman tenggelamnya Jakarta.
"Semakin lambat mengambil langkah effort-nya pasti akan semakin berat, tapi tidak ada kata terlambat untuk melakukan sesuatu," katanya.