REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Perdana Menteri Israel yang baru Naftali Bennett mengikuti seruan Benjamin Netanyahu dengan meminta Amerika Serikat (AS) tidak bergabung kembali ke kesepakatan nuklir Iran atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Mantan Presiden AS Donald Trump menarik Negeri Paman Sam dari perjanjian tersebut.
"Memperbaharui kesepakatan nuklir dengan Iran adalah kesalahan, kesalahan yang akan memberikan kembali legitimasi pada rezim paling keji dan gelap di dunia, Israel tidak akan membiarkan Iran melengkapi dirinya dengan senjata nuklir," kata Bennett di parlemen Israel atau Knesset, Senin (14/6).
Namun ia berterima kasih pada Presiden Joe Biden yang berniat untuk kembali ke JCPOA. Bennett mengucapkan terimakasih pada Biden atas 'komitmennya selama bertahun-tahun pada keamanan Israel' dan atas 'berpihak pada Israel' selama pertempuran melawan Hamas di Gazam bulan lalu.
Bennett mengatakan pemerintahannya akan mengejar hubungan baik dengan Partai Demokrat maupun Republik di AS. Di dalam negeri, ia membuat marah sayap kanan dengan melanggar janjinya karena bergabung dengan politisi moderat Yair Lapid untuk menyingkirkan Netanyahu.
Bennett mengatakan pemilihan umum kelima dalam dua tahun terakhir akan menjadi bencana nasional. Baik Bennett maupun Lapid berjanji menyatukan politik Israel yang terpecah belah selama kekuasaan Netanyahu.
Kabinet baru akan menghadapi tantangan berat di bidang luar negeri, keamanan dan keuangan. Mereka harus mengatasi isu Iran, gencatan senjata dengan milisi Palestina di Gaza, penyelidikan kejahatan perang yang dilakukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan pemulihan ekonomi pasca-pandemi.
Bennett mengatakan prioritas pemerintahannya adalah reformasi pendidikan, kesehatan, memotong birokrasi demi pertumbuhan bisnis dan menurunkan harga rumah. Pemimpin-pemimpin koalisi pemerintah yang baru mengatakan akan meloloskan anggaran dua tahun untuk membantu menstabilkan keuangan negara.