REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Palu, Sulawesi Tengah menyebut tanggul penahan abrasi yang dibangun Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) III di kawasan pantai Teluk Palu perlu dilengkapi kajian kebencanaan.
"Perlu ada kajian kebencanaan, sebab tanggul tersebut menggunakan material batu gajah dan letaknya berada di zona rawan bencana 4 atau zona merah," kata Kepala Bidang Tata dan Penaatan DLH Palu Tatang S.Parman.
Menurut dia, BWSS III Palu seharusnya memikirkan dampak yang ditimbulkan gempa dan tsunami terhadap struktur yang dibuat, sebab hanya dengan mengandalkan batu gajah yang ditumpuk belum tentu dapat menahan hempasan air secara optimal akibat tsunami.
Dia menilai tanggul yang dibangun di kawasan Teluk Palu membahayakan warga setempat jika sewaktu-waktu terjadi bencana alam serupa. "Meskipun sudah terbangun, tetapi tanggul tersebut perlu dicarikan teknologi tepat agar bebatuan yang ditumpuk saling terikat meskipun batu-batu tersebut berukuran besar," ujar Tatang.
Berdasarkan hasil kajian kegempaan yang dikeluarkan pemerintah pusat, peta Zona Rawan Bencana (ZRB) Palu terbagi dalam empat zona dan wilayah-wilayah yang masuk zona merah yakni kawasan teluk dan sekitarnya, jalur patahan, dan ekslikuefaksi.
Oleh karena itu, struktur sebuah bangunan harus berkesesuaian dengan karakteristik kawasan. Mengingat Teluk Palu masuk zona merah, maka tanggul tersebut harus memiliki dokumen kajian kebencanaan.
DLH Palu juga menolak menandatangani dokumen adendum analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), kegiatan pembangunan tersebut tidak memiliki kajian kebencanaan.
"Wajib bagi BWSS III membuat dokumen kajian kebencanaan agar struktur tanggul tersebut tahan terhadap gempa dan tsunami," demikian Tatang.