REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Imam Ghazali (1059-1111) merupakan seorang ulama sekaligus filsuf muslim yang mendapatkan gelar Hujjatul Islam. Dalam maha karyanya yang berjudul Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali mengemukakan pendapatnya tentang roh manusia.
Dikutip dari buku “Hidup Sesudah Mati” karya KH Bey Arifin, dalam kitab tersebut Imam Ghazali menerangkan tentang pengertian roh. Menurut Imam Ghazali, roh mempunyai dua pengertian, yaitu penegrtian yang bersifat jasmani dan rohani.
Secara jasmani, menurut Imam Ghazali, roh itu adalah bagian jasmani manusia, yaitu zat yang sangat halus bersumber dalam ruang hati (jantung) dan menjadi pusat semua urat (pembuluh darah) yang terserak ke seluruh bagian tubuh manusia sehingga manusia dapat hidup dan bergerak, juga dapat merasakan berbagai perasaan, seperti pahit, manis, senang, susah, haus, lapar, dengan mata dapat melihat, dengna telinga dapat mendengar, dengan hidung dapat mencium, dan dengan otaknya dapat berpikir.
Sedangkan pengertian yang bersifat rohani, menurut Imam Ghazali, tidaklah termasuk bagian dari jasmani manusia, tetapi termasuk bagian rohani manusia, bagian yang halus dan gaib. Roh menurut pengertian yang kedua inilah manusia dapat mengenali dirinya sendiri dan mengenal Tuhannya, dapat mencapat berbagai macam ilmu pengetahuan, dapat berperikemanusiaan, berakhlak yang baik, dan berbeda dengan binatang.
Keadaan dan hakikat roh hanya Allah saja yang mengetahuinya. Roh itu adalah rahasia Allah, tidak dapat diketahui atau dipelajari oleh siapa saja, sekalipun para nabi dan rasul Allah sendiri. Allah Swt berfirman,
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِۗ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلً
“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.” (QS. Al-Isra' Ayat 85).
Berdasarkan ayat tersebut, Imam Al-Ghazali melarang orang menyelidiki dan memikirkan tentang hakikat roh karena hal itu tidak dapat diselidiki selama-lamanya, dan hanya akan membawa kesesatan dan perdebatan saja. Dari situlah Nabi Muhammad Saw sendiri tidak diperbolehkan menerangkannya.