REPUBLIKA.CO.ID,WASHINGTON - Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf mendapatkan apresiasi tinggi dari tokoh-tokoh perdamaian global di ajang International Religious Freedom (IRF) Summit, di Washington, DC, Amerika Serikat, Kamis (15/7), waktu setempat. Pada hari ketiga konferensi tingkat tinggi (KTT) tersebut, Yahya Staquf menyampaikan pidato kunci dengan judul “The Rising Tide of Religious Nationalism” (Pasang Naik Nasionalisme Religius).
Menurut Yahya Staquf, fenomena bangkitnya nasionalisme religius adalah bagian mekanisme pertahanan ketika suatu kelompok agama yang biasanya merupakan mayoritas di negaranya merasa terancam secara budaya. Kebangkitan ini pun, lanjut dia, tak terelakkan lantaran dunia tengah bergulat dalam persaingan antar-nilai untuk menentukan corak peradaban di masa depan. Di sisi lain, katanya, dinamika internasional telah mengarah pada perwujudan satu peradaban global yang tunggal dan saling berbaur (single interfused global civilization).
Dikatakan, persaingan yang sengit ini berpotensi besar memicu permusuhan dan kekerasan. Oleh karena itu, Yahya Staquf mendorong berbagai elemen di dunia menemukan cara untuk mengelolanya sebelum telanjur meletus konflik global yang kian parah.
Untuk mengatasi hal itu, Yahya Staquf menawarkan strategi dan model perdamaian dunia sebagaimana yang selama ini telah dipraktikkan oleh kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Dalam kesempatan itu, juru bicara era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menjelaskan, sebelum mewujudkan kedamaian global, harus diidentifikasi lebih dahulu nilai-nilai apa yang selama ini telah menjadi kesepakatan bersama.
“Saya bisa sebut nilai-nilai kejujuran, kasih-sayang dan keadilan, adalah nilai-nilai yang pasti kita sepakati secara universal,” ujar pria yang akrab disapa Gus Yahya.
Selanjutnya, jelas Gus Yahya, dunia harus membangun konsensus atas nilai-nilai yang perlu disepakati agar semua pihak yang berbeda-beda dapat hidup berdampingan secara damai. Bahkan bila diperlukan, nilai-nilai tradisional yang menghambat koeksistensi damai pun layak untuk diubah.
Untuk memperjelas atas solusi yang dia tawarkan tersebut, Katib Aam PBNU mencontohkan strategi NU yang menyatakan bahwa kategori kafir tidak memiliki relevansi hukum dalam konteks negara bangsa modern. Hal ini sangat beralasan sebab setiap warga negara sejatinya harus setara di depan hukum. Sikap NU tersebut merupakan hasil Munas Alim Ulama di Kota Banjar pada 2019 lalu.
“Dengan pendekatan ini maka adanya perbedaan-perbedaan keyakinan mengenai nilai-nilai yang tersisa harus disikapi dengan toleran,” tandas Gus Yahya yang mantan anggota Wantimpres ini.
Pandangan dan tawaran solusi perdamaian global yang disampaikan Gus Yahya tersebut mendapat sambutan hangat dari para peserta IRF. Hadirin pun bertepuk tangan berulang kali sepanjang pidato itu.
Ambassador Sam Brownback dalam sambutannya sebagai pemrakarsa dan penanggung jawab KTT tersebut bahkan secara khusus memuji langkah-langkah bersejarah yang telah diambil oleh NU. “Dunia sungguh membutuhkan peran Nahdlatul Ulama demi masa depan peradaban yang lebih harmonis,” tegasnya.