Akademisi: KPK tak Membantah Langgar Administrasi atau tidak
Red: Agus Yulianto
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Univ Andalas Feri Amsari. | Foto: Republika/Prayogi
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak membantah institusinya melanggar administrasi atau tidak saat menyampaikan keberatan atas Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI. KPK justru terlihat hendak melarikan perdebatan jauh dari substansi yang sebenarnya.
"KPK sama sekali tidak membantah institusinya melanggar administrasi atau tidak, sehingga bukan tidak mungkin ini pengakuan KPK telah melakukan cacat administrasi. Namun untuk membela diri dinyatakan Ombudsman RI juga melakukan cacat administrasi." kata akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Feri Amsari di Jakarta, Jumat (6/8).
Dia mengatakan, KPK justru terlihat hendak melarikan perdebatan jauh dari substansi yang sebenarnya adalah mengenai apakah KPK melakukan maladministrasi dalam penyelenggaraan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam proses peralihan pegawai komisi menjadi aparatur sipil negara (ASN). Kesan yang hendak ditimbulkan, lanjutnya, seolah-olah Ombudsman melanggar administrasi karena memeriksa KPK yang melanggar administrasi.
"Alih-alih taat administrasi, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron malah menuduh Ombudsman tidak mematuhi aturan sendiri," katanya. Menurutnya, KPK tidak membaca secara utuh peraturan mengenai Ombudsman RI.
Feri lantas menjelaskan, konsep administrasi dan hukum administrasi mengenai kewenangan Ombudsman dalam kaitannya terhadap pemeriksaan mengenai polemik TWK bagi pegawai KPK. Dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 ayat (1) huruf c Undang-Undang (UU) Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Feri menyebut, salah satu fungsi, tugas, dan wewenang Ombudsman adalah meminta klarifikasi dan/atau salinan dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan laporan dan instansi terlapor.
Dalam menyelenggarakan fungsi, tugas, dan "kewenangannya itu, berdasarkan Pasal 12 UU tersebut, Ombudsman dibantu oleh asisten," katanya lagi.
Karena itu, kewenangan melakukan klarifikasi yang dilakukan oleh keasistenan bidang pemeriksaan berdasarkan Pasal 15 Peraturan Ombudsman RI yang dikutip Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron lebih karena beliau tidak memahami bahwa yang berwenang sesungguhnya Ombudsman dalam hal ini Pimpinan Ombudsman yang didelegasikan kepada asisten, kata Feri.
"Apakah boleh klarifikasi dilakukan Pimpinan Ombudsman RI? Tentu saja boleh karena secara UU itu kewenangannya pimpinan Ombudsman. Asisten hanya melakukan dalam rangka membantu tugas dan kewenangan Pimpinan Ombudsman tersebut," ujarnya pula.
Dia mengatakan, bantahan tersebut bukan karena Nurul Ghufron tidak mengerti terhadap konsep administrasi dan hukum administrasi. Namun, lebih sebagai alasan yang dicari-cari terhadap berbagai kesalahan administrasi yang dilakukan KPK dalam melaksanakan TWK.
"Sudah dicari-cari ternyata malah tidak membaca peraturan seutuhnya. Apalagi, cacat administrasi penyelenggaraan TWK yang ditemukan Ombudsman RI kan cukup banyak," ujar Feri.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pada Kamis (5/8) mengatakan, KPK melayangkan surat keberatan kepada Ombudsman RI atas LAHP berisi temuan maladministrasi dalam peralihan status pegawai KPK menjadi ASN. KPK rencananya akan menyampaikan surat keberatan itu secara tertulis ke Ombudsman RI hari ini.