REPUBLIKA.CO.ID, Buku-buku bekas dari ragam genre bertumpuk di sebuah kios mungil berukuran sekira 6x3 meter di Jalan Tarumanegara, Ciputat, Tangerang Selatan (Tangsel), Banten. Di kios bernama ‘Toko Buku Guru Bangsa’ itu, sang pemilik ‘membesarkan’ eksistensi buku bekas, sekaligus menghidupkan roh ilmu dari lembaran-lembaran yang dijajakannya.
Toko buku yang lebih dikenal dengan sebutan ‘Toko Buku Bekas Ucok’ itu nyaris tidak terlihat secara kasat mata dari jalanan. Bahkan tidak ada plang nama yang dipasang di depannya, kecuali tulisan berukuran kecil di dekat atap fasad kios.
Meski begitu, rupanya toko buku yang letaknya tak jauh dari Kampus UIN Ciputat itu telah dikenal luas dan menjadi salah satu toko primadona bagi para pecinta buku-buku bekas dari berbagai wilayah.
Setiap ada pengunjung yang datang ke toko itu, mula-mula sang pemilik menyapanya, kemudian menanyakan buku jenis apa yang dicari, hingga spesifikasinya. Sesekali juga memberi masukan atau rekomendasi buku yang sekiranya seirama dengan buku yang tengah dicari. Jika buku ketemu, pengunjung lantas membelinya dengan harga yang terbilang miring.
“Yang pertama dari berdagang buku adalah kita harus menguasai dulu apa yang kita jual,” kata pemilik ‘Toko Buku Guru Bangsa’, Ependi Simanjuntak (50 tahun) atau biasa disapa Ucok, saat ditemui di kawasan Ciputat, Selasa (27/7).
Prinsip pria kelahiran Sialang Buah, Sumatera Utara dalam berdagang buku itu, mampu ‘menghipnotis’ para pecinta buku untuk ikut berkelana ke kehidupan buku. Tokonya kerap disambangi beragam kalangan, mulai dari mahasiswa, pekerja, hingga ibu rumah tangga, bahkan pejabat sekalipun. Para pengunjung bisa saja betah berjam-jam di kiosnya untuk membaca buku atau berbincang ihwal kehidupan buku dengannya.
Untuk memperluas jangkauan penjualan, buku-buku bekasnya juga ia jajakan secara daring di marketplace. Setidaknya ada sekitar 4.700 eksemplar buku yang dijual, sejak satu tahun yang lalu.
Tekad Ucok itu lahir dari pengalaman hidupnya. Sejak 1985, Ucok mulai berjualan majalah dan koran di Terminal Kalideres, Jakarta Barat. Dia sempat bekerja sebagai koresponden di sebuah lembaga riset pasar ternama pada 1992 hingga 1997. Lantas pada akhir 1997, saat masa orde baru hendak tumbang, dia pun mulai membuka toko buku bekas.
Uniknya, Ucok mengumpulkan buku-buku bekas dari rumah mantan pejabat militer, akademisi, pejabat sipil, serta tokoh-tokoh penting. Selain itu juga diperoleh dari lapak-lapak tukang loak. Tak ayal, buku-buku yang dijajakannya terbilang tidak mudah didapatkan di pasaran.
Saat ini, di kesehariannya, Ucok terus memburu dan memasok buku-buku bekas original. Biasanya dia mendapatkan buku-buku itu dari kompleks atau perumahan, juga dari sejumlah lapak buku bekas. Lantas dia jajakan di toko bukunya.
Pria yang mengaku membenci buku bajakan itu mengatakan akan terus berjualan buku untuk menyajikan sejumlah referensi yang diperlukan para pecinta buku, apapun kondisinya.
“Inilah (buku) dagingku, dari sini aku makan, mau enggak mau harus aku pertahankan karena aku yakin buku tidak akan mati dan tidak akan punah selagi bumi ini ada, masih tetap banyak yang baca buku, walaupun dengan tertatih-tatih,” ujarnya.
Ria, salah satu pelanggan, mengatakan, toko buku bekas Ucok dinilai tidak biasa dibandingkan toko-toko buku lainnya. Genre buku bekas yang tersedia di toko tersebut beragam, pemiliknya pun informatif. Selain itu juga cukup banyak buku-buku lawas yang menarik untuk dibaca.
“Suka ya karena banyak genre-nya, mulai dari biografi, filsafat, sosial politik, sejarah, budaya, juga sastra. Kalau cari buku-buku yang sudah jarang ditemui juga kadang saya dapat di sini,” kata Ria.