REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Amalan yang kita lakukan tidak ada jaminan akan semua diterima. Hal ini tergantung dari ketulusan niat dan keikhlasan.
Allah SWT tidak menyukai amal yang tak sepenuhnya untuk-Nya. Artinya, di dalam hatinya masih ada kecintaan kepada selain Allah.
Jika seperti itu, maka amal tersebut tidak akan diterima Allah. Seorang ulama besar kelahiran Mesir, Syekh Ibnu Athaillah As Sakandari telah menjelaskan tetang hal itu dalam kitab Al-Hikam. Dia mengungkapkan demikian:
كما لا يحب العمل المشترك كذالك لايحب القلب المشترك : العمل المشترك لايقبله والقلب المشترك لايقبل عليه
“Sebagaimana Allah tidak menyukai amal yang tak sepenuhnya untuk-Nya, Dia juga tidak menyukai hati yang tidak sepenuhnya untuk-Nya. Amal yang tidak sepenuhnya untuk-Nya tidak Dia terima dan hati yang tak sepenuhnya untuk-Nya tidak Dia pedulikan.”
Dalam syarahnya di buku al-Hikam terbitan TuRos, Syekh Abdullah Asy Syarqawi menjelaskan maksud hikmah yang disampaikan Ibnu Athaillah tersebut. Menurut dia, “amal yang tidak sepenuhnya” itu adalah yang disertai riya dan kepura-puraan.
Sedangkan “Hati yang tidak sepenuhnya” adalah hati yang di dalamnya ada kecintaan dan ketergantungan kepada selain Allah.
“Allah tidak menyukai amal dan hati seperti ini. Jika amal dan hati seperti itu, cinta, yang bermakna kecenderungan hati, mustahil diberikan untuk Allah,” jelas Syekh Abdullah.
Sementara itu, “Allah tidak menyukai amal yang tak sepenuhnya untuk-Nya” bermakna bahwa Allah tidak akan menerima atau memberi pahala terhadap amal yang tidak sepenuhnya karena di dalamnya tidak ada keikhlasan.
Ketidaksukaan Allah terhadap hati yang seperti itu bermakna bahwa Allah tidak meridhai pemiliknya dan tidak memberinya pahala karena di dalamnya tidak ada ketulusan.
“Siapa yang memperbaiki amalnya dengan ikhlas dan menghiasi ahwal hatinya dengan ketulusan, dia akan dicintai Allah, diberi pahala, dan diridhai-Nya. Jika tidak, Allah pun tidak akan meridhai dan memberinya pahala,” jelas Syekh Abdullah.