REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Uttiek Panji Astuti, Penulis dan Traveller.
Perusahaan raksasa teknologi komunikasi Google mengeluarkan hasil riset yang memotret mobilitas manusia selama masa pandemi.
Salah satu yang diteliti adalah pergerakan manusia dalam menggunakan transportasi publik. Misalnya mendatangi stasiun dan naik kereta, terminal untuk bus, bandara untuk pesawat terbang, dan sebagainya.
Hasilnya, aspek ini menglami penurunan paling tajam hngga 53%. Selain keberadaan moda transportasi publik yang dibatasi, masyarakat pun banyak yang memahami risiko bahaya jika bepergian menggunakan tranportasi publik, karena banyaknya orang asing yang ditemui.
Masih dalam penelitian tersebut, aktivitas manusia di rumah tinggal justru mengalami kenaikan hingga 15%. Orang-orang yang biasanya melakukan banyak hal di luar rumah, kini membatasinya dan memilih keluar rumah hanya untuk kegiatan yang benar-benar penting saja.
Penelltian lain dilakukan L Crystal Jiang dan Jeffrey T Hancock dalam tulisan yang dipublikasikan Journal of Communication 63 menyebutkan, internet merupakan "kunci" baru untuk mempertahankan hubungan yang terpisah jarak.
Saya sering membayangkan, seandainya bumi tertutup pandemi sebelum teknologi informasi semaju sekarang ini, seperti apa jadinya?
Berkat kemajuan teknologi nyaris semua hal bisa dilakukan dengan satu usapan tangan. Semua bisa dicari dan ditemukan melalui koneksi internet.
Benarkah?
Ternyata tidak. Kebutuhan manusia akan afeksi tidak tergantikan melalui teknologi. Sekalipun bisa berjumpa melalui video call yang disediakan oleh bermacam aplikasi, namun hal tersebut ternyata tak bisa memupus kerinduan.
Rindu adalah perasaan sepaket yang muncul dengan hadirnya cinta dalam diri manusia. Rindu sering didefinisikan sebagai keinginan untuk terus bersama, bertemu, mendengar suaranya, mendapat perhatiannya, dan seterusnya.
Bila hal itu tidak terpenuhi maka akan muncul rasa gelisah. Berusaha mencari dan mendekat. Secara ilmiah, gejolak hormon dopamin, serotonin, dan oksitosin si hormon cinta, dianggap bertanggung jawab terhadap perasaan campur aduk itu.
Singkatnya, gejolak hormon itulah yang menyebabkan munculnya kondisi yang disebut rindu itu. Setelah bertemu, hormon itu kembali ke komposisi seharusnya. Muncul rasa lega, bahagia, dan hilang kegelisahan.
Sebutlah pandemi ini telah berjalan selama 2 tahun. Maka selama itu pula banyak manusia harus menahan rindu untuk bertemu dengan kerabat dan keluarga yang sebelumnya bisa intens dilakukan.
Namun, pernahkah membayangkan kerinduan yang sangat indah? Kerinduan yang baru terjawab setelah 40 tahun lamanya saling mencari?
Kerinduan abadi itu milik Nabi Adam dan ibunda Hawa, setelah diturunkan dari surga. Keduanya sampai ke bumi dengan posisi yang berjauhan. Diriwayatkan Nabi Adam berada di wilayah yang sekarang disebut anak benua India, sedang Ibunda Hawa di Jeddah.
Kemana harus mencari? Tak ada tempat bertanya, tak ada manusia selain keduanya, tak ada WA, Vcall, apalagi sosial media.
Setelah 40 tahun berlalu, atas izin Allah keduanya bertemu di Jabal Rahmah, Arafah. Tempat suci yang di kemudian hari dinamakan "bukit cinta". Keduanya saling mengenali dan bersatu kembali.
Kehidupan yang dijalani tak lagi sama dengan kenikmatan yang didapat di surga. Jatuh bangun berdua, membuat perasaan cinta kian kuat mengakar di dalam dada.
Mereka paham, hanya dengan cara bergandengan tangan dalam ketaatan lah yang membuat keduanya akan dikumpulkan kembali di surgaNya.
Seperti itulah seharusnya kerinduan itu dikelola. Membuat kita ingin selalu bersama dalam ketaatan. Karena tahu, kebersamaan di dunia ini tak lama. Keabadian hanya ada di surgaNya.
Manakala rindu itu tak berbuah ketaatan, manakala cinta tak mendorong amal kebaikan, maka sejatinya kita sedang merencanakan perpisahan yang abadi selamanya. Bukan sekadar perpisahan sementara tersebab virus Corona.