REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU –- Konflik di lahan tebu Pabrik Gula (PG) Jatitujuh yang menewaskan dua orang petani, mengundang keprihatinan banyak kalangan. Pemerintah pun didesak untuk menuntaskan konflik agraria tersebut.
Desakan itu disampaikan anggota Komisi IV DPR RI, Ono Surono. Dia menyatakan, pemerintah harus segera turut andil menuntaskan konflik yang melibatkan PG Jatitujuh dengan kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Forum Komunikasi Masyarakat Indramayu Selatan (F Kamis) tersebut.
Ono menjelaskan, konflik antara PG Jatitujuh dan masyarakat itu sudah terjadi sejak bertahun-tahun lalu. Namun, hingga kini, belum juga tuntas.
Ono menilai, Pemerintah Pusat khususnya Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang mempunyai kewenangan terhadap lahan pengganti atau perubahan fungsi hutan, dipastikan sudah mengetahui permasalahan itu. Termasuk pula potensi-potensi konflik antara PG Jatitujuh dan masyarakat.
"Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan seakan tutup mata dan membiarkan masalah ini berlarut-larut. Sehingga sangat disayangkan akhirnya terjadi konflik horizontal antara masyarakat," ujar wakil rakyat dari daerah pemilihan Kabupaten Indramayu, Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon itu, Selasa (5/10).
Ono menerangkan, lahan tebu PG Jatitujuh itu dulunya adalah kawasan hutan yang dikelola oleh PT Perhutani. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, PG Jatitujuh wajib memberikan lahan pengganti. Namun, lahan pengganti itu tidak pernah diberikan sampai dengan habisnya masa hak guna usaha (HGU).
"Saat itu muncul reaksi dari masyarakat menuntut PG Jatitujuh segera memberikan lahan pengganti atau HGU lahan tebu dicabut dan lahan tebu itu dijadikan hutan kembali," ucap pria yang juga menjabat sebagai Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat itu.
Ono mengungkapkan, pada saat munculnya masalah tuntutan masyarakat terhadap pencabutan HGU atau lahan tebu menjadi kawasan hutan, pernah ada tawaran solusi untuk dilakukan kerja sama atau kemitraan antara PG Jatitujuh dengan masyarakat. Namun, pihak PG Jatitujuh menolak sehingga akhirnya terjadi penguasaan lahan tebu oleh masyarakat secara ilegal.
"Setelah masyarakat yang mengatasnamakan FKamis terus menerus menguasai lahan secara ilegal sampai ribuan hektare, barulah PG Jatitujuh melakukan kemitraan dengan kelompok masyarakat lainnya," kata Ono.
Akibatnya, lanjut Ono, konflik horizontal tak terhindarkan. Konflik itu mengakibatkan tewasnya dua petani mitra PG Jatitujuh oleh sekelompok orang di Kecamatan Tukdana, Kabupaten Indramayu, Senin (4/10).
"Peristiwa ini bukan lagi semata konflik agraria antara PG Jatitujuh dengan kelompok masyarakat yang mengatasnamakan FKamis. Kasus ini murni merupakan tindak pidana yang tidak boleh ditolerir secara hukum," tegas Ono.
Seperti diberitakan, dua orang petani tewas setelah terjadinya bentrokan di lahan tebu milik PG Jatitujuh di perbatasan Kabupaten Indramayu – Kabupaten Majalengka, tepatnya di Desa Kerticala, Kecamatan Tukdana, Kabupaten Indramayu, Senin (4/10). Polisi pun bergerak cepat menangkap para terduga pelaku penyerangan.
Adapun dua korban tewas itu bernama Suenda, warga Desa Sumber Kulon, Kecamatan Jatitujuh dan Yayan, warga Desa Jatiraga, Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka.
Kapolres Indramayu, AKBP M Lukman Syarief, menjelaskan, peristiwa itu terjadi akibat adanya sekelompok massa yang ingin menguasai lahan tersebut. Mereka kemudian mengintimidasi para petani yang bermitra dengan PG Jatitujuh.
"Peristiwa itu semestinya tidak perlu terjadi. Ada provokasi dari segelintir orang sehingga terjadilah tindak pidana dengan senjata tajam yang melukai petani yang akan menggarap lahan tebu tersebut," ucap Lukman.
Saat ini, situasi di lokasi sudah kondusif. Namun, petugas keamanan masih disiagakan di lokasi.