REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta menyebutkan parasetamol tidak termasuk yang diuji dalam penelitian kualitas air laut di Teluk Jakarta setiap enam bulan sekali. Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan DLH DKI Jakarta Yusiono menyebutkan, penelitian tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Di dalam Peraturan Pemerintah tersebut ada 38 parameter yang merupakan indikator pencemaran lingkungan dan parasetamol itu tidak ada di dalam 38 parameter tersebut," kata Yusiono saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (5/10).
Karena itu, pihaknya tidak melakukan analisis terhadapkandungan parasetamol tersebut.
Saat ini pihaknya belum mengetahui adanya parasetamol yang tinggi di perairan Teluk Jakarta. Tetapi terdapat sejumlah klasifikasi terkait pencemaran air melebihi baku mutu yang ditetapkan.
"Namun untuk parasetamol ini karena tidak termasuk yang diatur, maka masih belum ada baku mutu yang ditetapkan," ujar Yusiono.
Karena hal tersebut, pihaknya belum mengetahui tingkat bahaya yang ada pada manusia atau lingkungan karena masih diperlukan penelitian tambahan terkait penemuan tersebut. "Dari penelitian yang lain atau dari referensi yang lain. Kadar yang ada tersebutberbahaya buat kesehatan manusia atau tidak," katanya.
Adapun peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Zainal Arifin menyatakan, pihaknya belum dapat memastikan sumber pencemaran kadar parasetamol yang tinggi di perairan Teluk Jakarta. Pencemaran yang terjadi tersebut belum tentu disebabkan dari Jakarta saja, namun ada kontribusi dari wilayah penyangga.
"Jadi karena ini di Teluk Jakarta, Pemda Jakarta mungkin, tapi enggak. Kita harus tahu bahwa kita peneliti hampir setuju bahwa 60 sampai 80 persen pencemaran itu datangnya dari daratan sumbernya dari daratan itu bisa sampai Bodetabek," kata Zainal.
Kendati begitu, dia menyebutkan ada tiga kemungkinan penyebab pencemaran parasetamol di perairan Jakarta. Seperti halnya gaya hidup hingga terkait obat-obatan kadaluarsa yang tidak terkontrol.
"Dengan jumlah penduduk yang tinggi di kawasan Jabodetabek dan jenis obat yang dijual bebas tanpa resep dokter, memiliki potensi sebagai sumber kontaminan di perairan," ujar Zainal.
Menurut Zainal, seharusnya pengelolaan limbah farmasi dari rumah sakit bisa optimal sehingga limbah yang terbuang ke lautan bisa minim terkontaminasi dengan zat parasetamol. "Sehingga sisa pemakaian obat atau limbah pembuatan obat masuk ke sungai dan akhirnya ke perairan pantai," kataZainal.
Tim peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasiona (BRIN) dan University of Brighton UK merilis hasil dari studi pendahuluan (preliminary study) mengenai kualitas air laut di beberapa situs terdominasi limbah buangan. Hasil studi tersebut dimuat dalam jurnal Marine Pollution Bulletin berjudul "High concentrations of parasetamol in effluent dominated waters of Jakarta Bay, Indonesia".
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa parameter nutrisi seperti amonia, nitrat dan total fosfat, melebihi batas baku mutu air laut Indonesia. Selain itu, parasetamol terdeteksi di dua situs, yakni muara Sungai Angke (610 ng/L) dan muara Sungai Ciliwung Ancol (420 ng/L), keduanya di Teluk Jakarta.
Konsentrasi parasetamol yang cukup tinggi, meningkatkan kekhawatiran tentang risiko lingkungan yang terkait dengan paparan jangka panjang terhadap organisme laut di Teluk Jakarta. Hasil riset Dr Wulan Koagouw (BRIN, UoB), Prof Zainal Arifin (BRIN), Dr George Olivier (UoB) dan Dr Corina Ciocan (UoB) ini menginvestigasi beberapa kontaminan air dari empat lokasi di Teluk Jakarta, yaitu Angke, Ancol, Tanjung Priokdan Cilincing. Selain itu satu lokasi di pantai utara Jawa Tengah, yakni Pantai Eretan.