Rabu 20 Oct 2021 12:04 WIB

Muhammad Muda Pernah Terkucilkan

Masa muda Muhammad sebagai anak yatim hidup terkucilkan.

Rep: Ali Yusuf / Red: Muhammad Subarkah
Nabi Muhammad (ilustrasi)
Foto: Republika
Nabi Muhammad (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sudah menjadi suatu hal yang biasa anak yatim tersingkir dan terkucil dalam kehidupan sehari-hari termasuk termasuk akses pendidikan. Terkucil dan ke tersingkirkan itu juga pernah dialami oleh Muhammad muda. Kala itu ia tidak bisa mengakses pendidikan seperti halnya anak-anak muda bangsawan yang lain

"Dan seolah tidak ikut sertanya ia belajar seperti yang dilakukan teman-temannya dari anak-anak bangsawan menyebabkan ia lebih keras lagi ingin memiliki pengetahuan," tulis Husen Haekal dalam bukunya Sejarah Muhammad.

 

Karena jiwanya yang besar, yang kemudian pengaruhnya tampak berkilauan menerangi dunia. Jiwa besar yang selalu mendambakan kesempurnaan terpancar dalam diri Muhammad muda yang kelak menjadi pemimpin dunia akhirat sebagai penutup para nabi.

 

"Itu jugalah yang menyebabkan dia menjauhi foya-foya, yang biasa menjadi sasaran utama pemduduk Mekah," katanya.

 

Ia mendambakan cahaya hidup yang akan lahir dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini dibuktikan oleh julukan yang diberikan orang kepadanya dan

bawaan yang ada dalam dirinya. 

 

"Itu sebabnya, sejak masa ia kanak-kanak gejala kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hati sudah tampak, sehingga penduduk Makkah semua memanggilnya Al-Amin (artinya ‘yang dapat dipercaya’).

 

Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir, ialah pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya itu. Dia menggembalakan kambing keluarganya dan kambing penduduk Mekah. 

 

Dengan rasa gembira ia menyebutkan saat-saat yang dialaminya pada waktu menggembala itu. Di antaranya ia berkata: “Nabi-nabi yang diutus Allah itu gembala kambing.” Dan katanya lagi: “Musa diutus, dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala kambing keluargaku di Ajyad.”

Gembala kambing yang berhati terang itu, dalam udara yang bebas lepas di siang hari, dalam kemilau bintang bila malam sudah bertahta, menemukan suatu tempat yang serasi untuk pemikiran dan permenungannya. Ia menerawang dalam suasana alam demikian itu, karena ia ingin melihat sesuatu di balik semua itu. 

 

Dalam pelbagai manifestasi alam ia mencari suatu penafsiran tentang penciptaan semesta ini. Ia melihat dirinya sendiri. Karena hatinya yang terang, jantungnya yang hidup, ia melihat dirinya tidak terpisah dari alam semesta itu.

Bukankah juga ia menghirup udaranya, dan kalau tidak demikian berarti kematian? Bukankah ia dihidupkan oleh sinar matahari, bermandikan cahaya bulan dan kehadirannya berhubungan dengan bintang-bintang dan dengan seluruh alam? Bintang-bintang dan semesta alam yang tampak membentang di

depannya, berhubungan satu dengan yang lain dalam susunan yang sudah ditentukan, matahari tiada seharusnya dapat mengejar bulan atau malam akan mendahului siang. 

 

Apabila kelompok kambing yang ada di depan Muhammad itu memintakan kesadaran dan perhatiannya supaya jangan ada serigala yang akan menerkam domba itu, jangan sampai, selama tugasnya di pedalaman itu, ada

domba yang sesat, maka kesadaran dan kekuatan apakah yang menjaga susunan alam yang begitu kuat ini?

 

Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala pemikiran

nafsu manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas di hadapannya. 

 

"Oleh karena itu, dalam perbuatan dan tingkah lakunya Muhammad terhindar dari segala penodaan nama yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Mekah, dan memang begitu adanya: Al-Amin," katanya.

 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement