REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah mengatakan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) harus memikirkan kembali kebijakan non-intervensi di tengah memburuknya krisis hak asasi manusia (HAM) di Myanmar sejak kudeta militer pada 1 Februari. Pekan lalu, ASEAN tidak mengundang pemimpin junta Myanmar dalam konferensi tingkat tinggi (KTT) regional.
Pemimpin junta tidak diundang karena kurangnya kemajuan dalam rencana perdamaian yang disepakati dengan ASEAN pada April lalu. Sebagai gantinya, ASEAN mengundang seorang tokoh non-politik dari Myanmar dalam KTT tersebut. Keputusan ini merupakan langkah berani ASEAN, yang secara tradisional lebih menyukai konsensus dan keterlibatan daripada kritik terhadap negara-negara anggota.
"Meskipun masalah di Myanmar bersifat lokal dan nasional, itu berdampak pada kawasan, dan kita juga harus mengakui keprihatinan sembilan negara anggota lainnya,” ujar Saifuddin.
Saifuddin mengatakan, non-intervensi telah berkontribusi pada ketidakmampuan ASEAN untuk membuat keputusan yang efektif dengan cepat. Dia menyarankan langkah menuju kebijakan baru dengan keterlibatan konstruktif.
“Dan saya juga menyatakan fakta bahwa kita tidak dapat menggunakan prinsip non-interferensi sebagai tameng untuk menghindari masalah yang ditangani,” kata Saifuddin.
Pernyataan Saifuddin ini merupakan kritik yang jarang dilakukan oleh menteri luar negeri ASEAN terhadap salah satu negara anggota. Seorang juru bicara junta menyalahkan keputusan ASEAN pada intervensi asing, termasuk oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa.