Buruh Kecewa Upah Minimum Provinsi DIY
Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Fakhruddin
Upah Minimum Provinsi DIY Tuai Kekecewaan Buruh (ilustrasi). | Foto:
REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Angka kemiskinan di DIY masih di atas rata-rata angka kemiskinan nasional. Angka kemiskinan DIY per 23 November 2021 sebesar 12,28 persen, sedangkan rata-rata kemiskinan nasional per 15 Juli 2021 sebesar 10,14 persen.
Situasi ekonomi selama pandemi Covid-19 memang mengalami pergolakan signifikan. Tidak hanya menurunnya pendapatan nasional maupun omzet perusahaan, tapi juga memberi imbas terhadap keberlangsungan dan kesejahteraan pekerja atau buruh.
Tidak sedikit dari pekerja atau buruh harus kehilangan pekerjaan, baik di PHK, dirumahkan atau dikurangi jam kerjanya. Selain itu, pekerja atau buruh kerap juga mendapatkan kebijakan pengurangan upah karena alasan Pandemi Covid-19.
Belum lagi, dalam penetapan upah untuk 2022 tidak memberikan angin segar bagi pemulihan ekonomi pekerja atau buruh. Tetap murah, meski menggunakan formula pengupahan yang diatur PP 36/2021 yang merupakan turunan UU Ciptaker 11/2020.
Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY, Irsad Ade Irawan menilai, seharusnya ini waktunya mendongkrak ekonomi seiring menurunnya Covid-19. Salah satunya menaikkan upah pekerja atau buruh secara signifikan.
"Sebab, hanya dengan menaikkan upah secara signifikanlah pekerja atau buruh akan mampu memenuhi kebutuhan hidup layak," kata Irsad, Rabu (24/11).
Survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) pekerja atau buruh DIY per Oktober 2021, besaran KHL pekerja atau buruh Yogyakarta Rp 3.067.048, Sleman Rp 3.031.576, Bantul Rp 3.030.625, Kulonprogo Rp 2.908.031 dan Gunungkidul Rp 2.758.281.
Ia menilai, DIY sebagai provinsi yang menyandang predikat 'keistimewaan' seharusnya mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Artinya, angka KHL tersebut selayaknya dapat dipenuhi oleh masyarakat DIY melalui pendapatannya.
Tapi, Pemda DIY tidak serius entaskan kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. Kebijakan yang dikeluarkan justru menghambat pemenuhan kebutuhan hidup layak masyarakatnya sebagai salah satu ukuran tercapainya kesejahteraan.
UMP 2022 yang ditetapkan Gubernur DIY, Rp 1.840.915, menunjukkan betapa tidak seriusnya Pemda DIY entaskan kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. UMK Yogyakarta Rp Rp. 2.153.970, Sleman Rp. 2.001.000 dan Bantul Rp 1.916.848.
Kemudian, Kulonprogo Rp 1.904.275 dan Gunungkidul Rp 1.900.000. Dari upah yang ditetapkan dan memperhatikan kembali angka kebutuhan hidup layak pekerja atau buruh lima kabupaten/kota tunjukkan angka defisit pendapatan yang cukup besar.
"Kenaikan upah yang ditetapkan Gubernur DIY masih jauh dari harapan pekerja atau buruh," ujar Irsad.
Kenaikan upah yang tidak signifikan mendongkrak kesejahteraan ini seharusnya dicari alternatif oleh Pemda DIY. Terlebih, DIY dengan Dana Keistimewaannya, seharusnya memiliki formula khusus meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh.
Fakta ini menunjukkan angka kemiskinan di DIY tidak akan cukup dikendalikan mengingat Pemda DIY sendiri tidak memiliki itikad serius dalam mengentaskan kemiskinan. Salah satunya melalui peningkatan upah pekerja atau buruh.
Data itu sekaligus tunjukkan PP 36/2021 sebagai turunan UU Cipta Kerja 11/2020 tidak layak jadi dasar penetapan upah pekerja/buruh. Apalagi, sesungguhnya UU Cipta Kerja sebagai paying PP 36/2021 masih dalam proses Judicial Review (JR).
Sehingga, baik UU maupun peraturan-peraturan turunan tidak bisa jadi landasan menetapkan upah minimum. PP 36/2021 juga tidak layak dipatuhi sebagai penetapan upah karena telah mengurangi peran Dewan Pengupahan tingkat I, II dan III.
"Karena sekadar berdasarkan atas kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, sehingga aspirasi pekerja atau buruh terancam kehilangan tempat," kata Irsad.
Untuk itu, Majelis Pekerja Buruh Indonesia DIY menuntut Pemda DIY mencabut UU Ciptaker 11/2020 dan PP turunannya. Menolak PP 36/2021 sebagai dasar penetapan UMP dan UMK DIY 2022, lalu mencabut SK Gubernur DIY tentang UMP dan UMK 2022.
Kemudian, menetapkan UMK DIY berdasarkan survey KHL, lalu mencabut Permenaker 18/2020 tentang KHL, menetapkan Upah Minimum Sektoral DIY, memberikan layanan transportasi, pendidikan dan penyediaan pangan murah bagi pekerja atau buruh.
Memperluas kriteria DTKS dengan memasukkan pekerja/buruh berpenghasilan UMKc+20 persen. Memperbanyak program pelatihan bagi pekerja/buruh secara gratis, dan menyegerakan pembentukan koperasi serikat pekerja/buruh maupun permodalannya.
"Serta, memberikan bantuan sarana prasarana bagi federasi serikat pekerja/buruh yang telah memiliki usaha," ujar Irsad.