Pemkot Surabaya Susun Program Penanganan Bayi Stunting
Rep: Dadang Kurnia/ Red: Bilal Ramadhan
Sejumlah ibu menyuapi anaknya dengan makanan yang didapat dari program Gerakan Masyarakat Peduli Anak Stunting (Germas Pas) di Kantor Kelurahan Asemrowo, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (3/12/2021). Program pemberian makanan gratis kepada sejumlah anak bergejala stunting itu untuk membantu pemulihan gizi kepada mereka agar tumbuh sehat. | Foto: Antara/Didik Suhartono
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengaku, pihaknya secara terintegrasi telah memiliki program yang dirancang dari hulu hingga hilir, untuk melakukan pencegahan kematian ibu dan penanganan bayi stunting di Kota Pahlawan.
Di antaranya dengan cara mendata bayi-bayi yang baru lahir di Kota Surabaya, sebagai langlah antisipasi. “Dimulai dari data real time terkait kelahiran bayi dari setiap rumah sakit. Kami memiliki data itu dengan berapa berat dan tinggi bayi yang baru lahir, artinya kami sudah mulai melakukan deteksi dan pencegahan dari awal,” kata Eri, Rabu (29/12).
Sejak tiga tahun terakhir, kata Eri, Pemkot Surabaya juga telah bekerja sama dengan KUA (Kantor Urusan Agama). Setiap calon pengantin yang hendak mendaftar untuk menikah, harus mendapatkan pendidikan pernikahan yang diberikan bidan, untuk selanjutnya mendapatkan sertifikasi.
“Ketika sertifikasi sudah didapatkan dari Bidan, maka KUA bisa menikahkan calon pasangan tersebut. Pendampingan tersebut, kami mulai sejak pra nikah, kemudian saat ibu mengandung, hingga bayi yang telah lahir selama 1 000 hari akan kita dampingi, dan data ini akan terkoneksi dengan data kami,” ujarnya.
Eri menjelaskan, pada 2020 terdapat 5 ribu lebih bayi stunting di Kota Surabaya. Namun, setelah mendapat pendampingan sejak Oktober 2021, jumlah tersebut menurun drastis, hingga mencapai 1.300 bayi stunting.
“Pendampingan yang diberikan oleh Pemkot Surabaya adalah dengan menggandeng mahasiswa Fakultas Kedokteran di perguruan tinggi yang ada di Kota Surabaya untuk memberikan pemeriksaan dan vitamin,” kata Eri.
Eri juga mengaku telah menginstruksikan seluruh jajarannya untuk memberikan penanganan terbaik, dengan menargetkan zero stunting di awal 2022.
“Selanjutnya, pada penanganan gizi buruk di Kota Surabaya di tahun 2020, terdapat 196 balita terkonfirmasi sebagai balita dengan kondisi gizi buruk. Namun, sejak memasuki tahun 2021, angka tersebut turun menjadi 159 balita,” ujarnya.
Eri kemudian menjelaskan langkah-langkah yang telah dilakukan Pemkot Surabaya, yang berkaitan dengan pencegahan kematian ibu dan penanganan bayi Stunting. Langkah pertama yang dilakukan, yakni dengan berkolaborasi dan meminta pendampingan dari ahli gizi, serta Fakultas Kedokteran di setiap perguruan tinggi di Kota Surabaya.
“Langkah kedua, kami menggerakkan seluruh kader PKK, kader KB, tenaga kesehatan yang ada di seluruh kecamatan dan kelurahan, untuk mendata siapa saja warga yang akan menikah, ibu hamil, dan bayi yang sudah lahir, untuk mendapat pendampingan,” kata dia.