Jumat 21 Jan 2022 07:53 WIB

Ahli Jelaskan Proses Izin Penggunaan Obat dalam Gugatan Terkait Ganja

Ahli yang dihadirkan pemerintah menilai penggunaan obat cannabinoid belum diperlukan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus raharjo
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika), di Gedung MK, Kamis (20/1/2022). (Ilustrasi)
Foto: Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika), di Gedung MK, Kamis (20/1/2022). (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,

Pelarangan Ganja Digugat ke MK

Baca Juga

JAKARTA -- Sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (20/1/2022). Sidang kesembilan Perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020 tersebut berlangsung di Gedung MK secara virtual.

Dalam persidangan yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman, pemerintah menghadirkan tiga orang ahli untuk didengar keterangannya seputar penggunaan ganja pada kepentingan medis. Tiga ahli tersebut yakni, Guru Besar Farmakologi Universitas Indonesia Rianto Setiabudy, dokter spesialis saraf Aris Catur Bintoro, dan dokter spesialis saraf Uni Gamayani.

Rianto menjelaskan prinsip-prinsip ilmiah mengenai penerimaan penggunaan suatu obat untuk indikasi tertentu sebelum dikeluarkannya izin edar. Ia mengatakan, penggunaan obat yang baik dan benar harus didasarkan pada bukti ilmiah. Yakni, yang menunjukkan manfaatnya melebihi atau minimal seimbang dengan risikonya.

Prinsip selanjutnya, pembenaran penggunaan suatu obat oleh negara harus didasarkan pada bukti ilmiah yang cukup bahwa obat itu aman, efektif dan dibuat dengan mutu yang baik. Menurut Rianto, penggunaan obat yang baik dan benar harus ditunjang data penelitian baik pada hewan maupun manusia yang dikerjakan dengan metodologi yang memenuhi kaidah ilmiah.

Pemberian persetujuan penggunaan suatu obat atau zat bisa bervariasi antarnegara karena terdapat perbedaan masyarakat di tingkat pendidikan, kepatuhan masyarakat terhadap hukum, budaya, agama. Ketika dibuat suatu pilihan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat banyak maka kepentingan dan keselamatan masyarakat banyak diletakkan pada tempat lebih tinggi dibandingkan kepentingan individu. Tetapi tetap tanpa melupakan kepentingan individu.

Ia menyebut, dalam menilai kelayakan suatu obat atau pengobatan, urutannya adalah dibuktikan lebih dahulu dengan penelitian baru kemudian diizinkan penggunaannya, bukan sebaliknya. Menurutnya, pemerintah tidak tergesa-gesa menyatakan cannabis dapat digunakan untuk tujuan pengobatan.

"Karena kita berhadapan dengan suatu zat yang berpotensi menimbulkan masalah sosial yang besar terutama menyangkut kualitas generasi muda kita. Selain itu, sudah tersedia banyak pilihan obat dalam formularium nasional maupun daftar obat esensial nasional untuk keperluan indikasi yang disebutkan untuk cannabis itu," kata Rianto dalam sidang itu dikutip dari situs resmi MK, Kamis (20/1/2022).

Dokter saraf, Aris Catur Bintoro, menjelaskan, strategi pengobatan epilepsi bertumpu pada penegakan diagnosis, pemilihan obat serta peningkatan pada faktor lain. Menurut Aris, ketersediaan obat antiepilepsi di Indonesia telah merata dan tata laksana epilepsi sudah baik.

Aris menyebut penggunaan cannabis sebagai salah satu obat antiepilepsi di Indonesia saat ini tidak diperlukan. Mengingat, tidak banyaknya dukungan penelitian dan masih kurang tata laksana epilepsi yang menyertakan cannabis. "Selain itu, adanya efek samping dalam penggunaan jangka panjang serta pilihan terapi yang lain seperti diet ketogenik masih bisa dimanfaatkan," ujar Aris.

Sementara, dokter saraf lainnya, Uni Gamayani menegaskan pemberian obat cannabinoid pada pasien epilepsi anak tidak diperlukan pada saat ini. Mengingat obat yang sudah ada saat ini dinilai memadai. Penelitian yang ada masih belum cukup untuk menilai efektivitas dan keamanan obat ini.

Begitu juga dengan pemberian obat cannabinoid sebagai terapi spastisitas pada pasien cerebral palsy. "Saat ini pengobatan tersebut belum diperlukan, mengingat hasil penelitian yang masih belum konsisten," ucap Uni.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement