KURUSETRA -- Salam Sedulur... Monumen Nasional (Monas) yang menjadi salah satu monumen kebanggaan Indonesia ternyata menyimpan makna di baliknya. Jika Anda perhatikan dengan seksama, tugu yang digagas Presiden Ir Soekarno itu merupakan perkawinan antara Lingga dan Yoni.
Sebelum kita membahas sejarah berdirinya Monas, Kurusetra akan sedikit menjelaskan apa itu Lingga dan Yoni. Lingga merupakan simbol kejantanan seorang pria (phallus), dan Yoni sebagai simbol perempuan atau kesuburan.
Dalam kisah pewayangan, lingga sebagai gambaran laki-laki. Lingga yang berbentuk seperti alat kelamin pria, diartikan sebagai simbol kejantanan pria. Sementara yoni menggambarkan perempuan karena bentuknya mirip dengan alat kelamin perempuan sehingga diartikan sebagai simbol kesuburan.
Dalam bahasa Sansekerta, Lingga diartikan sebagai alat kelamin pria, sementara yoni diartikan kekuatan gaib yang memiliki daya tarik besar. Keduanya dipengaruhi simbol-simbol agama Hindu. Artefak-artefak berbentuk lingga-yoni banyak ditemukan di kompleks bangunan bersejarah di Indonesia, seperti candi atau keraton.
Jejaknya terpahat abadi di berbagai arca yang tersebar di Tanah Air, mulai dari Candi Sukuh era Kerajaan Majapahit, di Komples Siti Inggil Keraton Kasepuhan Cirebon, sampai Monas. Namun, tugu berbentuk Lingga-Yoni juga ditemukan di banyak negara, seperti Walled Obelisk Istanbul, Turki; Luxor Obelisks Mesir; hingga Washington Monument, Amerika Serikat.
BACA JUGA: Bikin Merinding, Ada Rumah Setan Tempat Orang Yahudi Gelar Ritual di Jakarta
Mengutip situs Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Lingga pada masa kerajaan Hindu diartikan sebagai pilar cahaya, simbol benih dari segala sesuatu di alam semesta. Lingga juga disebut sebagai simbol Dewa Siwa yang mengandung energi penciptaan dan simbol organ maskulin.
Namun, energi itu baru berfungsi jika disatukan dengan shakti yang disimbolkan dalam wujud yoni, simbol organ perempuan. "Dengan demikian, penyatuan antara Lingga sebagai organ maskulin dengan Yoni yang merupakan simbol organ feminin akan menghasilkan energi penciptaan, yang merupakan dasar dari semua penciptaan."
Dalam kepala Presiden Sukarno, terkandung ide untuk mendirikan sebuah bangunan ikonik yang akan menjadi landmark Jakarta dan Indonesia. Di tahun ke-9 setelah proklamasi kemerdekaan, dibentuklah Panitia Tugu Nasional yang dipimpin Sarwoko Martokusumo. Tim ini juga beranggotan S Suhud sebagai penulis, Sumali Prawirosudirdjo sebagai bendahara dan dibantu empat anggota masing-masing Supeno, K K Wiloto, E F Wenas, serta Sudiro. Setelah itu, Sukarno lalu membentuk dan memimpin Tim Yuri, panitia pembangunan Monas.
Demi mendapatkan tugu yang sempurna, Sukarno menggelar sayembara terbuka tentang desain sebuah tugu yang akan dibangun di Jakarta pada 17 Februari 1955. Dari 51 arsitek yang mengajukan rancangannya, desain milik Frederich Silaban yang terpilih meski sebenarnya desain miliknya tak memenuhi syarat bangunan tugu. Sebagai informasi Silaban adalah arsitek yang membuat rancangan Masjid Istiqlal.
BACA JUGA: Shalat di Masjid Istiqlal, Mabuk di Restoran Bioskop Capitol
Karena tak puas, Sukarno yang juga seorang arsitek kembali membuka sayembara pada 10-15 Mei 1960. Kali ini pesertanya membludak hingga 222 orang dengan 136 desain bangunan yang dikirim. Namun, kekecewaan lagi-lagi datang karena tidak ada satu pun yang memenuhi keinginan Sukarno.
Presiden jebolan Technische Hogeschool (kini Institut Teknologi Bandung/ITB) itu menginginkan bangunan tugu yang mencerminkan revolusi serta kepribadian dan cita-cita rakyat Indonesia.
Mengutip buku "Bung Karno Sang Arsitek" karya Yuke Ardhiati, Sukarno mengatakan tugu yang ingin dibangun harus memiliki syarat yakni bentuk tugu yang dibangun benar-benar bisa menunjukan kepribadian bangsa Indonesia, bertiga dimensi, tidak rata, tugu yang menjulang tinggi ke langit, dibuat dari beton dan besi serta batu pualam yang tahan gempa, tahan kritikan zaman sedikitnya seribu tahun serta dapat menghasilkan karya budaya yang menimbulkan semangat kepahlawanan.
"(Bangunan) yang mencerminkan hal yang bergerak, yang dinamis dalam satu bentuk daripada materi yang mati,” kata Sukarno waktu itu.
Sukarno mengakui sulit mewujudkan ide yang ada di kepalanya menjadi sebuah bentuk desain bangunan. Akhirnya Sukarno sendiri yang mengambil alih rancangan Silaban. Bersama Raden Mas Soedarsono, Sukarno memodifikasinya hingga menjadi bentuk seperti Monas saat ini.
Monas yang bertinggi 132 meter itu mulai dibangun pada 17 Agustus 1961. Bentuk Lingga dan Yoni yang menjadi bentuk dasar Monas karena Sukarno terinspirasi dari artefak di Candi Sukuh, Karang Anyar, Jawa Tengah. Monumen-monumen yang ada di Candi Sukuh yang dibangun di era Kerajaan Majapahit itu menurut Sukarno mencerminkan kebesaran jiwa Indonesia.
Namun Monas tak bermakna persenggamaan saja. Dalam "Tugu Nasional-Laporan Pembangunan" yang diterbitkan tahun 1978 disebutkan, selain lambang kesuburan pria dan perempuan, Monas melambangkan alu dan cawan, sebuah alat penting yang dimiliki rakyat Indonesia, khususnya di pedesaan. Tugu dan cawan juga perlambang negatif-positif, siang-malam, baik buruk dan dua sisi yang selalu abadi di dunia.
Monas yang dibangun hampir bersamaan dengan pembangunan Masjid Istiqlal lebih diprioritaskan Sukarno. Alasannya pernah diungkapkan Sukarno kepada Menteri Agama RI ketika itu, Saifuddin Zuhri yang bertanya mengapa lebih memprioritaskan pembangunan Monas daripada Masjid Istiqlal. Apalagi Sukarno menjadi sasaran kritik karena pembangunan Monas yang memakan biaya Rp 7 miliar saat itu. (BACA JUGA: Biaya Pembangunan Monas Jika Dilakukan Hari Ini Rp 266 Triliun)
"Mengapa Bapak tidak menyelesaikan membangun Masjid Istiqlal?" tanya Saifuddin Zuhri dalam bukunya yang berjudul, 'Berangkat dari Pesantren'.
Sukarno menjawab jika negara tak memiliki banyak uang untuk menyelesaikan pembangunan Masji Istiqlal dan Monas secara bersamaan. Namun, Sukarno punya alasan sendiri mengapa memilih menyelesaikan Monas daripada Masjid Istiqlal.
"Begini. Saya sudah tua. Kalau Allah Swt. menakdirkan saya mati padahal Monas belum selesai, orang sepeninggalkanku belum tentu menyelesaikannya. Tetapi kalau Masjid Istiqlal yang belum selesai, mereka akan menyelesaikannya. Insya Allah Subhanahu wa Ta'ala...!" jawab Bung Karno.
Memang Monas akhirnya selesai lebih dulu dan diresmikan pada 12 Juli 1975. Sementara Masjid Istiqlal diresmikan Presiden Soeharto pada 22 Februari 1978.
Monas yang menjadi perwujudan Lingga-Yoni yang dalam masyarakat Jawa simbol pernikahan atau hubungan seksual, kini berdiri tegak di tengah-tengah bangunan megah nan indah, seperti Istana Negara, Balai Kota, dan sejumlah perkantoran di wilayah Medan Merdeka. Monas juga berdiri tegak di hadapan dua rumah Tuhan yang jaraknya berdekatan, Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral.
BACA JUGA: Gara-Gara Arteria, Viral Video Presiden Jokowi Berpidato Pakai Bahasa Sunda