Jumat 28 Jan 2022 11:15 WIB

Begini Taktik Liverpool dalam Memadamkan Keberingasan Warganet di Medsos

Ini merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh klub di Liga Primer Inggris.

Rep: Anggoro Pramudya/ Red: Gilang Akbar Prambadi
Sosial Media. Ilustrasi
Foto: Google
Sosial Media. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, MERSEYSIDE -- Klub papan atas Liga Primer Inggris, Liverpool mengambil tindakan preventif setelah menunjuk Ishbel Straker. Tindakan itu diklaim sangat menarik pun bisa menjadi jalan keluar ihwal isu rasialisme dalam media sosial di sepak bola Benua Biru.

Ishbel Straker merupakan psikiater jempolan, yang direncanakan untuk menjadi konsultan mental para pemain the Anfield Gank. Keputusan itu diambil dari maraknya para pemain sepak bola menjadi korban pelecehan rasialis di sosmed.

Baca Juga

Menariknya, tidak hanya persoalan tekanan terhadap rasialisme tetapi sosok wanita asal Inggris, Ishbel Straker juga bakal membantu para pemain muda Liverpool agar bisa mengatasi ketenaran mendadak (star syndrome), pun masalah kecanduan terhadap beberapa hal negatif.

Sebagaimana dilansir Daily Mail, Jumat (28/1/2022) ini merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh klub di Liga Primer Inggris, demi menjaga para pemain yang mengalami masalah pada trauma 'trolling online' yang keji.

Kasus tindakan rasialisme tidak hanya terjadi di atas lapangan. Beberapa musim terakhir, maraknya sosial media membuat para pendukung lawan dan fan yang memiliki perilaku miring melepaskan umpatan-umpatan keji ke akun resmi seniman kulit bundar.

Pada April 2021 lalu beberapa pemain Liverpool seperti Trent Alexander-Arnold, Naby Keita, serta Sadio Mane mendapat seruan negatif. Ketiganya mendapat pesan emoji tak pantas dan komentar rasial melalui Instagram saat kalah 1-3 dari Real Madrid pada leg pertama Liga Champions musim lalu.

Bulan lalu, kapten Jordan Henderson mengungkapkan kekhawatirannya tentang kondisi tersebut, dan ia mengeklaim pihak terkait sama sekali tidak benar-benar memperhatikan kesejahteraan pemain.

"Liverpool sangat peduli dengan kesehatan mental para pemain mereka, tetapi selama setahun terakhir beberapa pelecehan yang dialami oleh tim utama sangat-sangat mengerikan," kata Henderson menjelaskan kekecewaan.

Trolling untuk beberapa pesepak bola jelas sangat berdampak buruk terhadap mental mereka. Buktinya dalam 12 bulan terakhir sebagian besar pemain muda terkurung dan enggan melihat akun sosial media pribadi.

Kasus rasialisme dalam industri kulit bundar sebenarnya bukan hal baru. Namun, setelah absennya penonton ke stadion, tudingan dan hujatan rasis justru mengarah secara langsung ke pribadi pemain via medsos.

Konsultan kesehatan mental yang baru memberi pemain muda kesempatan untuk berbicara tentang pelecehan yang mereka dapatkan nantinya bakal mendapat pelajaran dari Ishbel Straker tentang bagaimana mereka dapat mengatasi hal itu.

"Klub sangat ingin memastikan para pemain muda yang datang, atau baru saja menembus tim utama siap untuk apa yang bisa mereka hadapi secara online," sambung pernyataan tersebut.

Ishbel Straker, yang mendirikan 'I Straker Consultants' pada 2000, bekerja dengan akademi klub dan tim U-23 Liverpool.

Adapun dalam situs web mereka disebutkan terapis yang berbasis di Liverpool itu juga memiliki minat spesialis dalam peningkatan kinerja, mendukung mereka yang mungkin berjuang dengan pekerjaan karena kesehatan mental mereka.

Sementara itu tidak hanya perlakuan rasialis, beberapa kasus seperti tekanan dan teror berlebih bisa membuat korban bakal merasa depresi. Hal itu yang sepertinya ingin dijembatani pun diatasi oleh manajemen the Reds.

Peristiwa lain soal masalah depresi akibat sosmed menyebabkan mundurnya pelatih Fiorentina, Cesare Prandelli tahun lalu. Prandelli bahkan menyampaikan secara terbuka pilihannya mundur sebagai pelatih karena kesehatan mentalnya terganggu.

Serangan secara langsung membuat beberapa pemain dan pelatih mengaku mengalami gangguan kesehatan mental dan trauma. Willian Borges mengaku sempat merasa khawatir untuk menggunakan ponsel pintarnya.

"Ya, terkadang saya merasakan ketakutan. Kami manusia. Kami melakukan yang terbaik untuk membantu tim, kami ingin menang, dan kami tidak ingin kalah. Tapi, hasil akhir terkadang berkata lain, dan mereka datang mengucapkan kata-kata menyakitkan," ujar pemain berusia 32 tahun itu.

Inilah ancaman yang dihadapi oleh sepak bola modern. Kehadirannya tak lagi di lapangan, tapi juga di jagat maya. Praktis para pelatih, pemain dan staf jelas harus menemukan cara untuk bisa meredam serta mengatasi tekanan tersebut.

Narasi tentang para pemain Liverpool dan Cesare Prandelli juga dialami skuad timnas putri Indonesia. Bahkan, pelatih Rudy Eka Priyambada sempat mengatakan para pemainnya stres menghadapi cibiran yang muncul setelah kekalahan 0-18 dari timnas putri Australia.

"Mereka sedikit stres karena sudah kalah 0-18, lalu melihat komentar dari teman-teman netizen. Pemain sepak bola wanita ini sensitif, jadi mohon kerja samanya untuk selalu mendukung kami," ujar Rudy dalam keterangan PSSI beberapa waktu lalu.

Untuk segala iklim karut-marut tentang medsos dan pengaruhnya di jagat sepak bola, puasa media sosial bagi pemain bisa jadi yang paling efektif. Tetapi, terlalu berlebih apabila membatasi hak seseorang untuk menggunakan ponsel pintarnya hanya karena ingin menghindari komentar-komentar 'aneh'.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement