REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur menyayangkan masih adanya kasus kekerasan guru terhadap siswa di Kota Surabaya yang menyandang status sebagai Kota Layak Anak (KLA). Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim Anwar Sholihin di Surabaya, Ahad (30/1/2022) mengatakan, aksi kekerasan dan eksploitasi tidak bisa dibiarkan di sekolah. "Sebab, sekolah merupakan salah satu tempat bagi anak untuk tumbuh dan berkembang selain di keluarga dan di tempat mereka bermain," katanya.
Sebelumnya beredar sebuah video berdurasi tiga detik melalui WhatsApp yakni seorang guru di SMPN 49 Kota Surabaya memukul siswanya di depan kelas saat pembelajaran tatap muka (PTM) 100 persen sedang berlangsung. Menurut Anwar, program sekolah ramah anak (SRA) telah lama digulirkan oleh pemerintah mulai level pusat sampai kab/kota. Ada 24 indikator KLA yang harus dipenuhi, salah satunya sekolah yang ada di wilayah kota/Kabupaten tersebut harus ramah terhadap anak.
"Sekolah yang ramah anak adalah sekolah yang antikekerasan. Kepala sekolahnya membuat kebijakan tidak ada seorang warga sekolah pun yang melakukan kekerasan. Baik antarmurid, petugas keamanan sekolah terhadap murid atau bahkan guru terhadap murid," ujarnya.
Ia melanjutkan, semua warga sekolah harus bisa menciptakan suasana yang aman, nyaman dan menyenangkan. Terutama bagi peserta didik, sehingga anak-anak menjadi keranjingan belajar dan bersekolah. "Jadi bukan sekolah itu terkesan seram dan menakutkan bagi anak-anak," katanya.
Anwar menambahkan, sayangnya sampai saat ini realitas yang terjadi masih saja ada aksi kekerasan dan eksploitasi di lingkungan sekolah. Kasus video kekerasan yang viral di SMPN 49 Surabaya menjadi bukti seorang oknum guru menempeleng muridnya sendiri.
Cara-cara kekerasan seperti itu, kata dia, sebenarnya tidak menyelesaikan masalah. Namun malah bisa membuat anak trauma atau bahkan anak malah semakin tidak terkendali dan melakukan pemberontakan. "Atau bahkan bisa saja mengancam guru tersebut. Artinya kekerasan fisik semacam itu, bukan jalan yang bijak untuk mendisiplinkan anak," ujarnya.
Untuk itu, kata dia, LPA Jatim menyayangkan masih saja ada aksi kekerasan di sekolah. Padahal kota Surabaya sudah beberapa kali mendapatkan penghargaan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sebagai Kota Layak Anak sampai ditingkat utama.
Menurutnya, untuk saat ini, jika tidak ada upaya-upaya untuk memeperbaikinya dan mencegahnya bisa saja penghargaan tersebut dicabut atau diturunkan levelnya. "LPA Jatim menghargai respons cepat yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan dan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi. Namun tidak hanya respons setelah terjadi korban, bagaimana Dinas Pendidikan memastikan semua sekolah yang aman, nyaman dan ramah bagi warga sekolahnya," katanya.
Padahal pendidikan karakter juga sangat penting untuk diterapkan. Dengan kondisi yang terjadi di Surabaya, maka dibutuhkan pelatihan-pelatihan terhadap para guru agar memahami Konvensi Hak Anak, Undang-undang Perlindungan Anak, Kabupaten/Kota Layak Anak dan sekolah Ramah Anak harus terus digalakkan.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya Yusuf Masruh sebelumnya membenarkan, kejadian kekerasan yang menimpa salah satu siswa di SMP Negeri 49 Surabaya. Menurutnya, hal itu terjadi karena belum adanya pemahaman guru terhadap karakter siswa, saat PTM 100 persen berlangsung.
"Saya mohon maaf atas nama Dinas Pendidikan kepada warga Surabaya. Untuk kronologi kejadian ini masih kita dalami, karena di media sosial sudah tersebar berita itu," kata Yusuf. Oleh karena itu, Yusuf meminta setiap guru untuk memiliki strategi yang tepat dalam memberikan pembelajaran kepada anak didiknya, dengan tujuan bisa membantu dan menjaga proses pembelajaran akademik siswa.