REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Angka inflasi inti di awal tahun terus menunjukkan perbaikan. Sejumlah ekonomi mengingatkan pemerintah untuk menjaga momentum perbaikan inflasi inti demi menjaga proses pemulihan daya beli masyarakat.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan, inflasi inti pada Januari 2022 mencapai 0,42 persen secara bulanan atau 1,84 persen secara tahunan. BPS menilai, Laju inflasi inti yang terus mengalami kenaikan mengindikasikan pemulihan daya beli masyarakat yang terus membaik.
Angka inflasi inti memberikan andil kepada inflasi umum sebesar 0,27 persen. Adapun, angka inflasi umum tercatat 0,56 mtm atau 2,18 persen yoy.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai, kenaikan inflasi inti memang didorong oleh kenaikan permintaan konsumen yang ditandai dari terus meningkatkan indeks keyakinan konsumen untuk berbelanja.
Namun, dari sisi produksi, pemerintah perlu melihat lebih jeli. Pasalnya, para produsen utamanya industri manufaktur mulai mengalami kendala dari kenaikan bahan baku. Kenaikan bahan baku impor bahkan naik dua hingga tiga kali lipat akibat biaya pengiriman yang tinggi.
"Jadi, inflasi inti yang meningkat di satu sisi sinyal positif tapi di sisi lain harus ada kewaspadaan karena input produksi yang naik, juga biaya tenaga kerja yang bertambah," kata Bhima kepada Republika.co.id, Rabu (2/2/2022).
Ia menekankan, kendala yang dihadapi produsen itu akan meningkatkan harga jual dan serta akan ditanggung oleh konsumen sebagai level terakhir rantai pasok barang. Situasi itu tidak dipungkiri bisa mendorong adanya penurunan daya beli masyarakat.
Bhima menilai, pemerintah di tahun ini harus lebih bekerja keras dalam menjaga stabilitas pasokan bahan baku. Ia mencontohkan seperti kebijakan domestic market obligation (DMO) batu bara dan minyak sawit sebagai salah satu upaya menjaga ketersediaan pasokan perlu dikawal dan diterapkan secara efektif.
"Selain itu meningkatkan pendapatan masyarakat dengan cara pembukaan lapangan kerja dengan baik dan efektif serta stimulus bantuan dari pemerintah. Kalau itu masih sulit, maka digitaliasi harus dipercepat sehingga bisa membantu masyarapat beradaptasi," katanya.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Yusf Rendy Manilet, mengatakan, meski inflasi inti terus meningkat, masih belum mencapai seperti level sebelum pandemi."Pada kondisi pra-pandemi, inflasi inti itu sampai 2 persen, sekarang masih sekitar 1 persen. Tapi itu lumrah karena dia meningkat bertahap," katanya.
Senada dengan Bhima, Yusuf menekankan, stabilitas dari permintaan barang dan jasa masyarakat menjadi indikator penting. Harga-harga, terutama harga pangan juga perlu dijaga untuk memastikan masyarakat tidak terbebani dari sisi pengeluaran.
Selain itu, tren kasus Covid-19 yang terus meningkat perlu mendapat perhatian dari masyarakat luas. Pasalnya, jika mobilitas tidak dikendalikan, dikhawatirkan akan kembali berdampak pada pembatasan-pembatasan aktivitas yang dapat menghambat pemulihan laju inflasi ke level normal seperti sebelum pandemi.
"Kita tinggal lihat saja bagaimana kelanjutan dari Omicron dan penanganannya," ujar dia.
Sementara itu, Deputi Kemenko Perekonomian, Iskandar Simorangkir, mengatakan, inflasi inti yang terus mengalami kenaikan menunjukkan tingkat permintaan barang dan jasa secara nasional dan merupakan kabar baik bagi pemerintah.
Hanya saja, pemerintah tidak hanya fokus pada inflasi inti. Terdapat inflasi harga pangan bergejolak atau volatile foods yang mesti diwaspadai. Pasalnya, harga-harga komoditas pangan secara global tengah mengalami kenaikan seperti yang terjadi pada minyak sawit sebagai bahan baku minyak goreng.
"Namun, secara keseluruhan, peningkatan harga pangan masih terkendali karena Indonesia merupakan negara produsen komoditas," ujarnya.