REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kasus dugaan penipuan Binary Option belakangan ramai diperbincangkan karena korban telah melapor ke polisi. Mereka berkumpul grup telegram. Mereka saling berkoordinasi dan saling terprovokasi karena merasa tertipu dari beberapa influencer lainnya. Malahan, korban justru melakukan aksi provokasi.
Dalam grup telegram tersebut, mereka mengancam membunuh para afiliator dan influencer dari Binary Option. Tidak sedikit juga sumpah serapah mengalir di dalam grup itu. Aksi mereka grup telegram tersebut sudah mereka mulai semenjak akhir 2021.
Para korban sudah melapor ke Polda Metro Jaya dan saat ini kasus diserahkan ke Bareskrim Polri. Sudah ada delapan korban yang diperiksa. Hingga akhir pekan ini, kasusnya masih dalam tahap penyelidikan.
Namun, para pengamat menilai bahwa kasus ini bukan hanya salah dari influencer atau afiliator semata dan pihak influencer tidak bisa disalahkan begitu saja. Terjadinya laporan dan dugaan kasus penipuan ini adalah dampak dari pengawasan awal pemerintah.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan saat ini regulasi di dalam negeri juga belum mengatur perihal influencer atau seseorang yang mempromosikan aplikasi trading ilegal. Sehingga, platform trading ilegal ini dapat dengan leluasa membayar atau menyewa influencer ini untuk mempromosikan produknya.
“Selain itu, aturan seseorang menyebarkan berita bohong ataupun platform yang terindikasi penipuan internet belum kuat. Para penipu berani menyewa influencer untuk mengiklankan platform penipu itu,” katanya kepada wartawan, Sabtu (12/2/2022).
Banyaknya nasabah yang merasa tertipu dari kasus binary options ini disebabkan oleh kurangnya literasi digital dan literasi keuangan masyarakat. Kemudian, masyarakat juga tergiur keuntungan yang besar dengan cara yang relatif instan tanpa mempertimbangan risikonya. Hanya dengan menebak naik atau turunnya sebuah aset.
"Ada dua sisi kenapa masyarakat kita mencoba-coba jenis investasi yang tidak sedikit ternyata ilegal. Sisi pertama dari sisi masyarakatnya yang ingin mendapatkan keuntungan secara kilat namun tidak memiliki literasi digital dan keuangan yang kuat," katanya.
Dia menjelaskan masyarakat yang memiliki literasi keuangan dan digital yang rendah ini menjadi sasaran empuk dari penjaja investasi bodong. Tercatat, indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia saat ini baru sebesar 38,03 persen dan indeks literasi digital Indonesia berada level 3,49 pada 2021.
"Literasi digital kita terhitung masih buruk yang dapat dilihat dari semakin maraknya kasus pencurian data digital hingga penipuan online. Literasi keuangan juga masih sangat rendah," ujarnya.
Bahkan, jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya di kawasan indeks literasi keuangan dan digital masyarakat Indonesia masih jauh lebih rendah."Financial knowledge masyarakat Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara tetangga. Dari sini kita sudah bisa melihat bahwa masyarakat Indonesia merupakan sasaran empuk para penipu berkedok investasi, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri," katanya.