Islam dan Perlindungan Data Pribadi
Red: Fernan Rahadi
Ilustrasi data pribadi | Foto: Pikist
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Elfian Fauzy (Alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Pemerhati Hukum Siber)
Peradaban dunia saat ini selalu dicirikan dengan fenomena kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang berlangsung hampir di semua bidang kehidupan. Bahkan, menurut Didik J Rachbini, teknologi informasi dinilai sebagai simbol pelopor yang akan mengintegrasikan seluruh sistem dunia, baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi, dan keuangan. Dari sistem-sistem kecil lokal dan nasional, proses globalisasi dalam tahun-tahun terakhir bergerak cepat, bahkan terlalu cepat menuju suatu sistem global. Dunia akan menjadi “global village” yang menyatu, saling tahu, dan terbuka, serta saling bergantung satu sama lain.
Terdapat sebuah catatan yang ditulis oleh Samuel P Huntington, seorang ilmuwan politik Amerika Serikat dalam bukunya "The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century". Ia menjelaskan bahwa dalam perspektif masa depan, dunia akan menjadi sebuah perkampungan yang besar. Sementara batas-batas negara menjadi sangat kabur. Saat ini, melalui internet kita sedang berada dalam kondisi di mana akses dunia menjadi tanpa batas (borderless) yang artinya semua orang dapat mengakses apapun melalui jaringan internet yang memberikan kemudahan dan kontribusi di bidang ekonomi, kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia.
Namun, bak pedang bermata dua. Kemajuan teknologi internet juga dibarengi dengan semakin banyaknya perbuatan melawan hukum atau kejahatan di dunia maya (cyber crime) dengan menggunakan media internet dan alat elektronik lainnya. Intisari dari kejahatan dunia maya adalah mencuri, menyalahgunakan, dan membocorkan data korban baik perusahaan maupun individu. Tidak dapat disangkal, bahwa dengan semakin masifnya pihak yang dapat melakukan pengumpulan, penyimpanan, pembagian, dan penganalisaan data maka semakin meningkat pula risiko kejahatan dalam dunia maya.
Lalu bagaimana agama Islam menandang fenomena ini? Pada dasarnya, agama Islam merupakan sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia agar selalu dekat dan beribadah kepada Allah SWT. Sistem ini tidak hanya mengatur antara hubungan manusia dengan Allah SWT secara vertikal, namun juga hubungan antara semua makhluk hidup ciptaan Allah SWT. Dalam Islam hubungan antar sesama manusia di bahas dalam ilmu fiqih muamalat. Salah satunya yaitu konsep hak.
Hak dalam Islam
Pada dasarnya, prinsip fundamental dari suatu keadilan adalah dengan adanya pengakuan bahwa semua manusia memiliki kehormatan martabat yang sama. Hal itu berarti bahwa semua manusia memiliki hak-hak yang diperolehnya, bersamaan dengan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam menjalankan kehidupan. Hak yang paling fundamental adalah suatu aspek terhadap kodrat manusia atau kemanusiaan itu sendiri.
Kemanusiaan setiap manusia merupakan amanat dan ide luhur dari Allah SWT. Tuhan Yang Maha Pencipta, yang menginginkan agar setiap manusia tumbuh dan berkembang dalam kehidupannya untuk menuju dan mencapai kesempurnaanya sebagai seorang manusia. Oleh karena itu, setiap dari kita sebagai manusia harus dapat mengembangkan diri sedemikian rupa sehingga dapat terus belajar dan berkembang secara leluasa.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, risalah islamiyyah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW telah diyakini sebagai ajaran yang bersifat universal. Isi dan muatan ajarannya mengandung nuansa kasih sayang dan rahmat illahi untuk seluruh lapiran umat manusa, yang akan mengantarkan kebahagiaan dan kesuksesan mereka hidup di dunia serta kebahagiaan dan keselamatan mereka di akhirat.
Dari antara sekian ajarannya, Islam mengajarkan umatnya agar menghormati dan mengakui hak-hak hidup seseorang. Islam mengajarkan bahwa hidup dan mati dalam dalam kekuasaan Allah SWT. Sehingga, tidak dapat seorang pun yang dapat mengganggu hak hidup orang lain. Selain itu, Islam juga mengajarkan bahwa selain setiap orang harus terjamin gak hidup dan kemerdekaanya, hendaklah hak jamaah (hak publik) lebih diutamakan atas hak perorangan.
Perlindungan data pribadi
Islam adalah agama yang banyak berbicara tentang keamanan. Beberapa di antaranya dapat kita temukan dalam QS An-Nur ayat 27 yang mengatakan bahwa “Hai orang-orang yang beriman, janganlah memasuki rumah yang bukan rumahmu sehingga kamu minta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” Lanjut pada ayat 28 yang mengatakan “Dan jika kamu tidak menemui seorang pun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu, “kembalilah!” maka (hendaklah) kamu kembali. Itu lebih suci bagimu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Selanjutnya, dalam riwayat hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda “Apabila seseorang menengok atau melihat ke dalam rumahmu tanpa izin darimu, lalu kamu melemparnya dengan batu kerikil hingga tercungkil matanya, maka tidak ada dosa bagi kamu” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Selain itu, dalam QS Al-Kahfi ayat 90-98 terdapat dalam satu penggalan kisah yang menceritakan konsep keamanan pada masa Nabi Zulkarnaen AS dengan bangsa Ya’juj dan Ma’juj. Pada masa itu, Nabi Zulkarnaen AS diminta untuk membangun sebuah dinding yang tinggi dan tebal sehingga tidak dapat ditembus oleh Ya’juj dan Ma’juj dan bertujuan untuk melindungi kaumnya dari kejahatan dan kerusakan yang dilakukan oleh mereka. Nabi Zulkarnaen AS kemudian memiliki ide untuk membangun sebuah dinding pertahanan yang terbuat dari bahan tembaga dan besi yang panas.
Ternyata, konsep dinding tembaga dan besi panas tersebut diadopsi dalam keamanan teknologi modern yang disebut dengan dinding api (firewall) fungsi dari firewall yakni untuk menghalau akses dari pihak-pihak yang tidak dikehendaki dan tidak bertanggung jawab terhadap data atau komputer yang dimiliki oleh seseorang.
Dalam tataran dunia internasional, melalui Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia Dalam Islam (Cairo Declaration on Human Rights in Islam) pada tahun 1990, dalam Pasal 18 (b) dan (c) dijelaskan bahwa: “Setiap orang berhak atas privasi dalam menjalankan urusan pribadinya, di rumahnya, di antara keluarganya, berkenaan dengan harta miliknya dan hubungannya. Tidak diperbolehkan untuk memata-matai dia, menempatkan dia di bawah pengawasan atau menodai nama baiknya. Negara harus melindunginya dari campur tangan yang sewenang-wenang. Tempat tinggal pribadi tidak dapat diganggu gugat”.
Dalam hal ini, dapat kita ketahui bersama, bahwa agama Islam telah secara jelas dan nyata mengatur mengenai perlindungan data pribadi. Data pribadi harus dilindungi karena jika bocor atau disalahgunakan dapat merusak harkat dan martabat seseorang. Dalam konsepnya, melindungi informasi yang bersifat pribadi merupakan kebutuhan primer karena tergolong dalam maqashid syari’at, yaitu perlindungan kehormatan diri (hifdzul ‘irdh).