Kamis 17 Mar 2022 08:24 WIB

Hapus 300 Ayat, Benarkah Alquran Kitab Kekerasan?

Sebaliknya, Alquran ternyata kitab paling "damai" di tradisi Abrahamik.

Rep: Fitriyan Zamzami/ Red: Partner
.
.

Seruan di dunia maya oleh Abraham ben Moses, pria yang mengeklaim sebagai seorang pendeta, membikin hebo. Ia meminta Kementerian Agama menghapus 300 ayat dalam Alquran yang menurutnya mengajak pada radikalisme. Ia juga mendesak kurikulum-kurikulum pesantren diganti dengan alasan yang sama. Saat Menkopolhukam Mahfud MD meminta yang bersangkutan diamankan, ia malah mengajak berkelahi.

Nah, pembaca yang budiman, terlepas dari klaim si Ben Moses ini, bagaimana sedianya kedudukan kitab suci umat Islam itu terkait "ayat-ayat kekerasan"? Apakah benar kitab itu lebih dipenuhi ajakan membuat kehancuran dan pembunuhan? Mari tengok sejumlah penelitian terkait hal tersebut.

Anak-anak melihat Al-Quran yang dipajang di Masjid Al Mustofa, Bantarjati, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (10/2/2022). (Putra M Akbar/Republika) 
Anak-anak melihat Al-Quran yang dipajang di Masjid Al Mustofa, Bantarjati, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (10/2/2022). (Putra M Akbar/Republika)

Pada 2016, data analis dan peneliti pemasaran Tom Anderson menggunakan perangkat lunak analisis naskah yang dirancang OdinText untuk meneliti Alquran, Perjanjian Lama, dan Perjanjian Baru. Hasil analisis itu menunjukkan bahwa Perjanjian Lama hampir dua kali lebih banyak mengandung kekerasan dari Alquran.

Kata-kata "pembunuhan dan penghancuran" ditemukan pada 5,3 persen isi Perjanjian Lama yang merupakan kumpulan naskah-naskah umat Yahudi. Sementara pada Alquran, hanya 2,1 persen. Kata-kata yang sama juga ditemukan pada 2,3 persen Perjanjian Baru, alias masih lebih banyak dari Alquran.

Apa kemudian kata-kata yang dominan dalam Alquran? Alih-alih kekerasan, tema dominan dalam Alquran adalah kasih sayang dan pengampunan. Hal ini terkait dengan sifat Allah yang paling banyak dirujuk dalam Alquran yakni Rahman dan Rahim.

Philip Jenkins, pakar sejarah agama-agama dari Penn State University juga melakukan telaahan serupa pada 2010. "Yang membuat saya terkejut, ternyata Alquran jauh lebih tak berdarah-darah dan tak penuh kekerasan dibandingkan Injil," ujarnya seperti dikutip the Independent.

Sejumlah guru Pendidikan Agama Islam (PAI) mengikuti Khatam Raya di Masjid Baiturrahman, Limboto, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo, Senin (20/12/2021). (ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin)
Sejumlah guru Pendidikan Agama Islam (PAI) mengikuti Khatam Raya di Masjid Baiturrahman, Limboto, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo, Senin (20/12/2021). (ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin)

Ia menyimpulkan, konteks perang dalam Alquran selalu menekankan pada pembelaan diri. Sementara pada Injil, ia menemukan ayat-ayat yang bahkan merujuk pada genosida. "Untuk standar abad ke-7 (saat Alquran diturunkan), ternyata isinya sangat manusiawi," ujar Jenkins.

Sedangkan makalah Douglas Davidson pada William and Mary Bill of Rights Journal menemukan ada sedikitnya 30 kondisi di mana seseorang bisa dikenai hukuman mati, termasuk dengan dirajam, pada Perjanjian Lama. Di Alquran, jumlahnya jauh lebih sedikit, tak habis dihitung dengan jari sebelah tangan. Selain itu, ada mekanisme pemberian maaf dari korban dalam Alquran yang tak ditemukan pada kitab-kitab lain.

Pembeli memilih kitab di Toko Kitab dan Al Qur'an Kauman Putra, Yogyakarta, Rabu (20/10). (Wihdan Hidayat/Republika) 
Pembeli memilih kitab di Toko Kitab dan Al Qur'an Kauman Putra, Yogyakarta, Rabu (20/10). (Wihdan Hidayat/Republika)

Menurut William T Cavanaugh dalam bukunya “The Myth of Religious Violence”, menimpakan alasan terkait terjadinya radikalisme dan kekerasan pada agama atau teks-teks agama adalah mitos yang dibangun liberalisme modern. Tak ada kekerasan dengan dalih agama pada masa modern yang dipicu kitab suci.

Kesan tersebut dibangun untuk mengaburkan bahwa kekerasan yang brutal juga dilakukan negara sekuler kapitalis seperti Amerika Serikat atau negara-negara kediktatoran Marxist seperti Uni Soviet dan RRC. Radikalisme, menurut Cavanaugh, punya keterkaitan sangat erat dengan konteks sosial politik pada masa tertentu seperti kolonialisme, represi negara, atau perebutan sumber daya alam dan wilayah, dan terjadinya ketidakadilan.

Konflik di Timur Tengah, misalnya, lebih terkait dengan bagi-bagi wilayah selepas Perang Dunia I dan Perang Dunia II yang dipicu bangsa-bangsa Eropa. Sementara di India, praktik adu domba pada masa kolonialisme Inggris membuat rekahan di kalangan umat Islam dan Hindu.

Pada akhirnya, perbaikan kondisi sosial-ekonomi jauh lebih efektif mengeradikasi radikalisme ketimbang menimpakan kesalahan pada kitab suci manapun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement