REPUBLIKA.CO.ID, Lebanon menjadi salah satu tempat hidup bagi para pengungsi Palestina. Setidaknya, ada 12 kamp pengungsi yang terdaftar resmi di negeri itu. Selain belasan kamp tersebut, ada ‘kamp-kamp gelap’ yang tidak masuk dalam daftar UNRWA (United Nation Relief and Work Agency) for Palestine Refugees dan Pemerintah Lebanon. Ratusan ribu pengungsi Palestina mendiami titik-titik tersebut sejak Peristiwa Naqba (Pengusiran) 1948.
Eksekutif Manajer Al Imam Al Shatiby, sebuah lembaga pendidikan Alquran di Lebanon, Syekh Dr Mahmoud Ahmad Samhoun menjelaskan, tidak ada angka pasti mengenai berapa sebenarnya jumlah para pengungsi tersebut. Baik UNRWA maupun Pemerintah Lebanon memiliki data statistik yang berbeda. Meski demikian, dia menjelaskan, estimasi jumlah pengungsi mencapai 250 ribu-280 ribu jiwa.
Diantara ratusan ribu pengungsi tersebut, Syekh Mahmoud mengungkap, setidaknya ada 4.000 pengungsi yang tidak memiliki kewarganegaraan di negeri berjuluk Parisnya Timur Tengah. Mereka kehilangan dokumen resmi saat pergi dari Palestina pada 1948 silam. Selain akibat kehilangan dokumen, mereka tak punya kewarganegaraan karena menjadi keturunan pengungsi lelaki Palestina yang menikahi perempuan Lebanon.
Ribuan pengungsi ini tidak diakui baik oleh Pemerintah Lebanon maupun UNRWA. Mereka hanya memiliki sebuah lembaran yang dinamakan Maktumi Al-Qayyid. Lembaran ini yang menunjukkan jika mereka pengungsi Palestina. “Tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk mengurus dokumen (kependudukan),”ujar dia saat media gathering bersama Adara Relief International di Jakarta, Rabu (24/3).
Syekh Mahmoud menjelaskan, para pengungsi ini mengalami diskriminasi. Mereka tak diperlakukan sama seperti pengungsi resmi lainnya. Mereka tidak memiliki hak untuk mendapatkan layanan kesehatan dan tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah UNRWA. “Di Lebanon ada 28 pusat layanan kesehatan tapi mereka tak memberikan bantuan kepada pengungsi resmi tersebut,”jelas dia.
Menurut Syekh Mahmoud, diskriminasi secara umum juga terjadi bagi pengungsi Palestina di Lebanon — baik resmi atau tidak resmi. Dia menjelaskan, setidaknya Pemerintah Lebanon melarang 70 pekerjaan bagi para pengungsi. Diantara pekerjaan tersebut yakni dokter dan jurnalis. Karena itu, mereka hanya bekerja sebagai tenaga kasar dan menjadi aktivis organisasi kemanusiaan.
Perlakuan diskriminatif lainnya yakni mereka tidak diperkenankan untuk berkomunikasi lewat internet. Mereka pun dilarang membangun infrastruktur apapun di lokasi kamp. Pemerintah Lebanon melarang materil bangunan untuk masuk ke kamp mereka. “Hak-hak mereka secara ekonomi dan sosial dihilangkan,”jelas dia.
Muhammad, salah satu penghuni kamp pengungsi di Lebanon menjelaskan, para pengungsi yang tidak bisa bekerja berdasarkan background pendidikan mereka terpaksa harus banting setir. Mereka menjadi cleaning service, buruh hingga sopir ilegal. Pendapatan mereka pun tergolong kecil. Dalam sehari, mereka hanya mendapat sekitar Rp 25 ribu. Padahal kebutuhan hidup mereka mencapai Rp 200 ribu. “Sebenarnya mirip dengan Gaza, “jelas dia.
Tim Adara juga memotret buruknya kondisi para pengungsi saat melakukan kunjungan ke Kamp Burj Al Barajinah pada akhir tahun lalu. Kamp pengungsian ini tidak memiliki fasilitas yang memadai, listrik terbatas, rumah dan jalanan yang sangat sempit.
Di sepanjang jalan kamp terdapat kabel-kabel listrik menjuntai dengan tidak rapi akibat minimnya perhatian pemerintah terhadap kamp pengungsian. Kabel-kabel itu juga sangat membahayakan anak-anak dan para warga karena dapat menyebabkan tersentrum listrik hingga mati. Terutama di musim dingin, karena air hujan mengguyur kabel-kabel juga menyebabkan air menggenang di jalanan.
Saat itu, tim Adara berkesempatan mengunjungi salah satu keluarga beranggota seorang ibu dan empat anak. Mereka berasal dari Safad – Palestina, lalu mengungsi ke pengungsian Gaza, lalu mengungsi lagi ke pengungsian Lebanon, tepatnya di Burj Al Barajinah seperti saat ini.
Realita bahwa mereka adalah pengungsi Palestina yang mengungsi lagi, tidak menyurutkan semangat ibu-ibu untuk mengajarkan anak-anaknya bahwa mereka adalah bangsa Palestina. Ketika anak-anak itu ditanya “Siapa kalian?”, mereka menjawab “Aku anak Palestina, cita-citaku membebaskan Palestina dan Masjid Al Aqsa”.
Di Kamp Burj Al Barajinah ini mereka tinggal di salah satu rumah susun dengan kondisi rumah yang sangat gelap. Karpet yang mereka gunakan di lantai pun sedikit lembab. Karena itu mereka sangat membutuhkan bantuan untuk menghadapi musim dingin.
Program Alquran
Syekh Mahmoud menjelaskan, pengangguran di kamp pengungsi juga terbilang meningkat. Sekarang, jumlahnya mencapai 66,4 persen. Karena itu, banyak para pemuda di pengungsian yang terkena brain wash dari para kolaborator. “Ada banyak penyusup di kalangan pengungsi. Mereka menyebar narkoba dan propaganda,”jelas dia.
Menurut Syekh Mahmoud, Al Imam Al-Shatiby mencoba untuk melakukan pembinaan kepada para pemuda Palestina melalui program Alquran. Mereka mendidik para pemuda tersebut untuk membaca dan menghafal Alquran. “Alquran menjadi solusi dari brainwashing ini,”tambah dia.
Ketua Adara Relief Sri Vira Chandra menjelaskan, Adara dan Al- Shatiby, sudah menjalin kerjasama sejak beberapa tahun yang lalu. Menurut dia, Asy Syatbi juga ikut memberikan bantuan mushaf Baitul Maqdis untuk beberapa wilayah Indonesia. Selain itu, Adara membantu halaqah Alquran di pengungsian Palestina seperti tahun-tahun sebelumnya. Beberapa penghafal Alquran yang dibantu Adara telah menyelesaikan hafalannya. Para mitra Adara pun membantu menyelenggarakan berbagai kajian Alquran khusus bagi mereka. “Alquran ini yang akan menjaga mereka,”jelas Sri.