Jumat 25 Mar 2022 22:58 WIB

Ekonom: Kenaikan PPN akan Pengaruhi Daya Beli Masyarakat

Kenaikan PPN satu persen pada April diprediksi memengaruhi daya beli masyarakat

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
Seorang wanita mengenakan masker saat berbelanja di supermarket di tengah pandemi Covid-19. Kenaikan PPN satu persen pada April diprediksi memengaruhi daya beli masyarakat. Ilustrasi.
Foto: EPA-EFE/HOTLI SIMANJUNTAK
Seorang wanita mengenakan masker saat berbelanja di supermarket di tengah pandemi Covid-19. Kenaikan PPN satu persen pada April diprediksi memengaruhi daya beli masyarakat. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) satu persen dari semula 10 persen ke 11 persen yang akan diberlakukan pemerintah pada 1 April 2022, akan berpengaruh pada daya beli masyarakat. Hal ini disampaikan Pengamat ekonomi dari Universitas Hasanuddin Makassar, Abdul Hamid Paddu.

"Sebenarnya ada dua sisi kalau pajak. Satu sisi kita lihat dalam bentuk pembangunan, itu dari sisi pemerintah. Di sisi lain ada kemampuan membeli masyarakat," ujarnya saat dihubungi Antara di Makassar, Jumat (25/3/2022).

Baca Juga

Menurut dia, di sisi pemerintah selama dua tahun pandemi Covid-19 terjadi defisit anggaran. Negara tentu butuh pembiayaan pembangunan termasuk infrastruktur serta kesehatan, sehingga tidak bisa menaikkan dan menarik pajak, serta berutang untuk keberlangsungan pembangunan tersebut.

"Karena situasinya pandemi dan ekonomi tidak jalan, terpaksa substitusinya adalah menggunakan utang," papar guru besar Unhas itu.

Namun saat ini, kata Hamid, situasi ekonomi sudah mulai membaik sehingga pemerintah mulai bergerak untuk membiayai pembangunan. Pilihan mengutang tidak dilakukan tetapi menyesuaikan pajak dengan cara menaikkannya.

Memang sudah seharusnya pemerintah melakukan penyesuaian PPN. Akan tetapi diharapkan mengimbangi insentif pengurangan pajak yang sudah diberikan selama dua tahun. Namun apabila tetap memberi insentif, maka akan menambah utang lagi. Selain itu, alasan pemerintah menaikkan PPN satu persen atas pertimbangan harus menutupi defisit yang ada.

Akan tetapi, menutup defisit dengan cara berutang sudah tidak bisa. Sebab Undang-undang hanya memperbolehkan dua tahun setelah defisit di atas tiga persen dari APBN. "Saya kira pemerintah sudah melihat, ini masuk kuartal pertama, (tiga bulan) bahwa ekonomi sudah mulai tergerak secara baik. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama saya kira positif baik. Maka pertimbangan PPN naik satu persen dan pajak lain termasuk cukai rokok dianggap sudah bisa memikul ekonomi masyarakat," tutur Hamid.

Kendati demikian, dari sisi masyarakat kenaikan pajak tersebut tentu berdampak. PPN sifatnya elastis dan sensitif karena berkaitan dengan barang-barang baik itu dipakai konsumsi maupun hasil produksi. Apalagi di saat bersamaan sedang dilakukan pemulihan ekonomi.

Dampak kenaikan itu terjadi dari dua sudut. Konsumen membeli barang untuk dipakai langsung, berarti biaya dikeluarkan bertambah, daya beli serta permintaan juga ikut menurun. Di sisi produsen, pengusaha, tentu barang produksi lebih mahal, meskipun pajak itu didorong ke pembeli.

"Imbasnya, inflasi bisa naik. Saat inflasi, harga barang termasuk minyak goreng kini di atas Rp 50 ribu. Itu bisa naik lagi karena dikenakan PPN kan masih mahal. Ini juga dikhawatirkan bisa mengerem ekonomi yang bisa menyebabkan gangguan penyerapan lapangan pekerjaan," ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement