Selama dua tahun terakhir, mata uang jatuh dan membuat masyarakat kelas menengah jatuh ke dalam kemiskinan. Kehancuran juga menyebabkan kelangkaan listrik, bahan bakar, dan obat-obatan.
Sementara itu, di Jalur Gaza, hanya sedikit orang yang berbelanja pada Jumat di pasar yang biasanya ramai. Para pedagang mengatakan perang Rusia di Ukraina telah membuat harga meroket dan meredamkan suasana meriah yang biasanya diciptakan saat Ramadhan.
Kondisi kehidupan 2,3 juta warga Palestina di wilayah pesisir yang miskin itu sulit dan diperparah oleh blokade Israel-Mesir yang melumpuhkan sejak 2007. Menjelang akhir Ramadhan tahun lalu, perang 11 hari yang mematikan antara penguasa Hamas di Gaza dan Israel menyelimuti perayaan, termasuk hari raya Idul Fitri.
Di Irak, masyarakat frustasi dengan meluasnya kenaikan harga pangan pada awal Ramadhan yang diperburuk karena konflik Rusia-Ukraina. Pensiunan guru dan aktivis hak perempuan Suhaila Assam (62 tahun) mengatakan dia bersama suaminya berjuang bertahan hidup dengan uang pensiun gabungan mereka sebesar 1.000 dolar AS atau sekitar Rp 14 juta per bulan.
Dia menyebut harga minyak goreng, tepung, dan kebutuhan pokok lainnya naik lebih dari dua kali lipat. “Kami sebagai orang Irak, banyak menggunakan minyak goreng dan tepung. Hampir setiap kali makan. Jadi bagaimana sebuah keluarga yang terdiri dari lima orang dapat bertahan hidup?” kata Assam.
Distributor tepung di pasar grosir Jamila yang memasok semua distrik Rasafa Baghdad Akeel Sabah (38) mengatakan tepung dan hampir semua bahan makanan lain yang diimpor membuat distributor harus membayarnya dengan mata uang dolar. Satu ton tepung dulu berharga 390 dolar AS atau sekitar Rp 5 juta. Sekarang, ia membeli satu ton tepung seharga 625 dolar AS atau kurang lebih Rp 9 juta.
“Devaluasi mata uang setahun yang lalu sudah menyebabkan kenaikan harga, tetapi dengan konflik Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung, harga meroket,” ucapnya.
https://www.voanews.com/a/ramadan-begins-in-much-of-middle-east-amid-soaring-prices/6512972.html
https://apnews.com/article/covid-science-health-indonesia-asia-6a011b7482294081a546a15e40653c10