YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pengajian Ramadan PP Muhammadiyah yang diselenggarakan secara daring dan luring terbatas pada 4 Ramadan 1443 Hijriah atau 5 April 2022 menghadirkan cendekiawan Muslim, Prof Amin Abdullah sebagai salah satu narasumber. Amin membawakan materi bertema “Religiusitas yang Mencerahkan: Perspektif Normativitas dan Historisitas”.
Secara normatif atau tatanan norma perilaku ideal, Amin menyebut beberapa konsep ideal yang ditawarkan dalam QS al-Hujurat: 11-13, al-Baqarah: 62, al-Maidah: 69, al-Mumtahanah, al-An’am: 108. Ayat-ayat itu mendorong perilaku mulia supaya saling kenal-mengenal; tidak saling merendahkan, menertawakan, dan mengejek; menghindari buruk sangka; tidak mencari-cari keburukan pengikut agama lain; tidak saling mempergunjingkan; entitas keberagamaan yang otentik (iman, percaya kepada hari akhir, dan amal saleh); berbuat baik dan berlaku adil untuk semua pengikut agama dunia.
Dalam tataran historisitas atau realitas atau praktik lapangan, banyak hal tercela yang terjadi dan dipraktekkan oleh umat beragama, antara lain: di era disrupsi atau era revolusi teknologi informasi, terjadi ujaran kebencian hingga hoaks; karahiyatul ghair atau membenci atau tidak suka kepada orang/kelompok lain; rafdhu ghair atau menolak kehadiran orang lain yang berbeda (ras, suku, agama, etnis); penyakit korupsi, intoleran, perundungan, hingga kekerasan seksual.
Menurut Amin, umat Islam perlu memahami realitas bahwa keragaman merupakan sunnatullah. Tidak ada satu manusia/kelompok/mazhab/agama/organisasi manapun yang bisa mewakili berjuta/bermilyar manusia yang terbagi menurut keragaman suku, agama, budaya, suku, etnis, konteks sosial, dan seterusnya. Bagaimana menyikapi realitas keragaman? Memahami realitas, menghormati, terlibat, mengelola, saling tergantung, dan kerja sama dalam relasi sosial.
Selain itu, Amin menawarkan supaya umat Islam mau membuka jalan baru literasi keagamaan, yang dapat ditempuh dengan dua cara: (1) mengembangkan fresh ijtihad, (2) menyempurnakan metode dan pendekatan agama Islam. “Masyarakat majemuk memerlukan fresh ijtihad dalam literasi keagamaan lintas budaya,” katanya. Dilakukan dengan mengembangkan bayani, burhani, irfani.
Dalam rangka pengembangan metode dan pendekatan religiusitas yang mencerahkan, Amin Abdullah mengajukan lima jalan. Pertama, bedakan agama dan pemahaman/penafsiran keagamaan. “Agama adalah sakral, suci, absolut. Sementara pemahaman dan penafsiran agama/keislaman adalah profan, duniawi, relatif,” ulasnya.
Kedua, pendekatan sejarah atau kesadaran waktu, dipahami dalam lintas waktu, lintas kawasan, lintas pendekatatan.
Ketiga, memperluas wawasan atau perspektif teoritik. Misalnya maqasid syariah, social science, nilai-nilai universal kemanusiaan, filsafat kritis, dan pendekatan yang multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin.
Keempat, keluar dari stagnasi metodologi monodisiplin yang menyumbang kuatnya kesewenang-wenangan penafsiran dalam menafsirkan nash/teks. Multi, inter, transdisiplin ilmu pengetahuan yang bertali-temali membuka cakrawala pemahaman yang luas dalam beragama. “Seorang spesialis yang tidak terhubung dengan disiplin ilmu lain akan mengalami keterasingan, krisis, dan ketidakberdayaan.”
Kelima, pembaharuan metode pemahaman agama Islam (al-tajdid al-manhaji) melalui multi, inter, transdisiplin. (ribas)