REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Para dokter Sri Lanka mengadakan aksi protes di Ibu Kota Kolombo pada Rabu (6/4/2022), karena rumah sakit kehabisan obat-obatan esensial. Krisis ekonomi terburuk telah melanda Sri Lanka dalam beberapa dekade, sehingga menyebabkan masyarakat kekurangan bahan bakar, listrik, makanan dan barang-barang lainnya selama berminggu-minggu.
Asosiasi Petugas Medis Pemerintah, yang mewakili lebih dari 16 ribu dokter di seluruh negeri, mengatakan, petugas medis dari seluruh Kolombo akan berkumpul di Rumah Sakit Nasional Sri Lanka untuk memprotes kekurangan pasokan obat yang serius. Malaka Samararathna, yang bekerja di Rumah Sakit Apeksha yang dikelola negara, merawat puluhan ribu pasien kanker dari seluruh negeri setiap tahun. Dia mengatakan, pasokan bahan kimia yang digunakan dalam pengujian laboratorium juga hampir habis.
"Pasien yang menjalani kemoterapi harus kami pantau dengan cermat. Setiap hari kami harus memantau pemeriksaan ini. Kami tidak bisa memutuskan manajemen yang tepat. Terkadang obat kemoterapi kami menyebabkan efek samping yang parah, jadi satu-satunya cara adalahdengan melakukan pengujian laboratorium ini," kata Samararathna.
Samararathna mengatakan, persediaan obat kanker seperti Filgrastim dan Cytarabine, serta beberapa antibiotik mulai menipis. Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa mencabut keadaan darurat pada Selasa (5/4/2022) malam setelah puluhan anggota parlemen keluar dari koalisi yang berkuasa. Rajapaksa melakukan berbagai langkah, termasuk mengamankan dukungan keuangan dari India dan China. Namun upaya Rajapaksa tidak dapat meredam aksi protes dan mengamankan pasokan barang-barang penting.
"Kami menerima ada krisis keuangan besar-besaran di negara ini, dan kami sekarang berusaha mencari solusi. Ada antrian untuk semuanya, untuk gas, untuk bahan bakar dan minyak tanah. Kami memahami kesulitan rakyat, tetapi kami harus menggunakan cara demokratis untuk memulihkan ketenangan," ujar Menteri Pendidikan dan Ketua Parlemen, Dinesh Gunawardena.
Menteri keuangan Sri Lanka mengundurkan diri pada Selasa, sehari setelah pengangkatannya. Dia mengundurkan diri menjelang pembicaraan penting yang dijadwalkan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk program pinjaman. Seorang supir taksi, Ruwanpathiranage Dharmawardena, mengatakan orang-orang mulai resah dan lelah dengan penderitaan. Mereka telah kehilangan kesabaran.
"Mereka tidak bisa mengatakan bagaimana orang akan berperilaku, dan keputusan apa yang akan mereka ambil," ujar Dharmawardena.