Levi juga mantan presiden Yayasan Quincentennial, sebuah organisasi Yahudi-Turki yang didedikasikan untuk merayakan kedatangan mereka di bekas Kekaisaran Ottoman pada abad ke-15. Menurutnya, Turki adalah rumah bagi sekitar 200 ribu orang Kristen dan Yahudi.
Sejak kecil, Levi menunggu kedatangan Ramadhan seperti halnya umat Islam. Menurutnya, ada banyak kesamaan baik agama Islam maupun agama lainnya jika berbicara tentang Tuhan. Sehingga semangat Ramadhan yang dirasakan Muslim juga turut ia rasakan.
“Anda hidup di lingkungan di mana semua orang berbicara tentang Allah (Tuhan), iman, dan berbuat baik. Pada saat yang sama, orang menilai tindakan mereka selama Ramadhan,” katanya.
Akibatnya, semangat Ramadhan mengilhami orang-orang Yahudi seperti Levi untuk melakukan refleksi diri, penyelidikan psikologis tentang perilaku mereka. “Tidak bisa dipungkiri. Saya harus mengatakan itu,” kata pemimpin komunitas Yahudi berusia 65 tahun itu.
Levi juga menemukan kesamaan antara puasa Ramadhan dan Yom Kippur, Hari Penebusan, yang merupakan hari Yahudi paling suci dalam setahun. Yom Kippur terjadi pada September atau Oktober.
Sementara Islam mengatakan puasa di bulan Ramadhan akan menyucikan seseorang dari dosa masa lalunya, orang Yahudi juga percaya dosa mereka akan diampuni pada Yom Kippur. Alhasil, kedua komunitas tersebut berkomitmen pada doa yang intens untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Levi mengingat suatu kebetulan yang menarik yang dialami kakek-neneknya, yang juga penduduk asli Balat seperti nenek Parizyanos, pada masa itu. Dari abad ke-16 hingga awal abad ke-20, Balat menjadi tuan rumah salah satu diaspora Yahudi terbesar di dunia.
“Kakek saya memberi tahu saya ingatan yang sangat penting dari masanya di awal 1950-an ketika periode waktu doa Yahudi yang intens yang disebut Selichot, yang diadakan tepat sebelum fajar sebelum Yom Kippur, dan Ramadhan terjadi pada waktu yang sama,” Levi menjelaskan.