Oleh : Rusdy Nurdiansyah/Jurnalis Republika.
REPUBLIKA.CO.ID, Di tengah lesunya perfilman Indonesia pada awal tahun 2000-an, Ada Apa dengan Cinta (AADC) yang dirilis pada 8 Februari 2002 membangkitkan dunia perfilman tanah air. Film besutan Rudi Soedjarwo itu sukses menyedot 2,5 juta penonton dengan pendapatan kotor hingga Rp 24 miliar.
AADC memenangkan banyak sekali penghargaan, mulai dari Lagu Terbaik dari Anugerah Musik Indonesia, Film Terpuji & Skenario Terpuji dari Festival Film Bandung, hingga Aktris Terbaik dan Sutradara Terbaik dari Festival Film Indonesia. Tidak hanya di Indonesia, kesuksesan AADC juga hingga mancanegara setelah dirilis di Malaysia, Brunei, Filipina, dan Singapura.
Film yang bertemakan kisah cinta SMA ini mengisahkan Cinta (Dian Sastrowardoyo) dan Rangga (Nicholas Saputra) yang sama-sama suka sastra. Persaingan keduanya saat ikut lomba puisi berubah menjadi kebencian saat Rangga enggan diwawancarai oleh Cinta untuk mading sekolah.
Kebencian memudar. Keduanya gencatan senjata saat menyukai buku yang sama. Lambat laun keduanya saling mencintai. Plot yang disajikan tidak hanya mengangkat percintaan saja melainkan persahabatan, keluarga, dan kehidupan masa SMA. AADC juga menampilkan akting memukau dan chemistry luar biasa antartokohnya.
Setelah mati suri di era 1990-an, film Indonesia bangkit dan menguasai pasar bioskop sejak 1999. Bermunculan film-film Indonesia seperti Petualangan Sherina, Jelangkung, AADC 2 dan Ketika Cinta Bertasbih (KCB).
Kebangkitan film Indonesia juga tak lepas dari begitu gencarnya pemberitaan media massa yang memacu para insan film untuk memproduksi film yang bermutu, bersaing dengan film-film produksi Hollywood yang selama ini menguasai layar bioskop Indonesia.
***
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, I Gede Ardika, mengapresiasi kebangkitan film Indonesia dengan mengundang para insan film dan wartawan seni, budaya dan film untuk memperingati Hari Film Nasional di Istana Negara pada 30 Maret 2004.
Sebagai fotografer Republika yang juga kerap menulis liputan seni, budaya dan film, aku mendapat undangan bersama 15 wartawan yang ikut serta dalam acara yang dihadiri Presiden RI kala itu, Megawati. Dalam undangan, tertera pakaian resmi yang harus dikenakan, celana bahan hitam, berkemeja, dan jas hitam.
Tentu bagiku dan sebagian rekan wartawan sedikit canggung dan tak terbiasa berpakaian dengan jas dan sepatu pantofel. Ini kali kedua aku masuk ke Istana Negara. Setelah sebelumnya pada masa Presiden Gus Dur yang tak begitu ketat penerapan protokoler, terutama dalam hal berpakaian. Pada masa Presiden Gus Dur, masuk Istana Negara seperti masuk pesantren dan didengungkan sebagai rumah rakyat sehingga tak ada aturan protokoler berpakaian.