REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menekankan pentingnya menjaga kehidupan sosial dan moral peradaban masyarakat sesuai dengan ajaran Islam.
Dia mengatakan, hal ini sebagai agenda utama untuk mencegah berkembangnya komunisme dan radikalisme.
Hal tersebut Mahfud sampaikan saat menjadi keynote speech pada webinar bertemakan ‘Komunisme dan Radikalisme dalam Pandangan Islam’. Acara ini diselenggarakan oleh Center for Information and Development Studies Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (CIDES ICMI) di Jakarta, Senin (18/4/2022).
“Komunisme dan radikalisme sebagai pandangan dan cara berpikir tentu memiliki kesempatan untuk bangkit dan merebak, jika ada pada situasi dan kondisi sosial yang tepat, yaitu saat terjadi ketidakadilan atau saat kehidupan masyarakat mengalami kemerosotan moral," kata Mahfud dalam keterangannya, Selasa (19/4/2022).
"Maka menjaga kehidupan sosial dan moral peradaban masyarakat sesuai dengan ajaran Islam adalah agenda utama untuk mencegah berkembangnya komunisme dan radikalisme,” sambungnya.
Mahfud menjelaskan, untuk mencapai tujuan masyarakat tanpa kelas, komunisme berada di titik ekstrem dengan menghalalkan segala cara, yaitu kekuasaan negara harus direbut dengan jalan revolusi oleh kelompok proletar. Kekuasaan yang dimiliki negara proletariat tidak boleh dibatasi sehingga disebut diktator ploretariat yang dalam sejarah negara di dunia selalu melahirkan penderitaan dan akhirnya runtuh satu demi satu.
Kemudian, menurutnya, radikalisme juga bertentangan dengan ajaran Islam, dari titik paling prinsipil hingga praktik yang dilakukan. Dia menyebut, ajaran Islam meletakkan kebenaran mutlak hanya milik Allah SWT, sedangkan kebenaran manusia bersifat relatif.
“Oleh karena itu, setiap yang diyakini sebagai kebenaran oleh manusia harus selalu menyisakan ruang untuk melihat dan berdialog dengan kebenaran lain," jelas Mahfud.
"Hal ini tidak berlaku dalam pandangan radikalisme yang berpangkal pada klaim kebenaran tunggal yang ada pada kelompok mereka sendiri. Kelompok lain pasti salah dan harus tunduk pada kebenaran yang mereka yakini. Jika tidak tunduk, maka harus dibinasakan dengan menghalalkan semua cara termasuk penyiksaan dan pembunuhan,” imbuhnya.
Mahfud menilai, hal tersebut juga bertentangan dengan ketetapan Allah SWT dalam ajaran Islam yang menciptakan manusia dan umat manusia itu beragam, tidak seragam.
Dia menekankan, pandangan masyarakat Indonesia berlandaskan ajaran Islam Washatiyah telah membentuk kekuatan komunal, sehingga komunisme yang bersifat ekstrem dan anti Tuhan tidak dapat menguasai bangsa Indonesia. Walaupun sempat berkembang dan membentuk partai politik, tetapi tidak berhasil melakukan revolusi dan membentuk diktator ploretariat.
“Demikian pula dengan radikalisme di negara kita tidak mudah berkembang adalah karena Islam yang diyakini oleh masyarakat Indonesia adalah Islam washatiyah,” ujarnya.
Dia mengatakan, saat ini masih terdapat pemikiran dan kelompok radikal. Namun, perkembangannya masih terkontrol, meski beberapa kali menunjukkan manifestasinya dalam bentuk aksi teror yang mengorbankan manusia dan harmoni sosial.
Mahfud menyampaikan, jika paham radikalisme ini tidak terkontrol dan menjadi keyakinan mayoritas umat Islam, tentu Indonesia akan dengan mudah menjadi seperti Suriah dan Afghanistan.
Adapun dalam acara tersebut hadir Direktur CIDES ICMI Prof Andi Faisal Bakti, Sekretaris CIDES ICMI Hery Margono, Sekretaris Jenderal MUI/Wakil Ketua Dewan Pertimbangan ICMI Pusat Amirsyah Tambunan.
Kemudian, Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat Prof Nanat Fatah Natsir, Dewan Pakar ICMI Pusat KH Abdul Hamid dan Peneliti Senior CIDES ICMI MHR Shikka Songge.