Dari Aisyah -radhiyallahu ‘anha- bahwa dahulunya Nabi saw shalat malam sampai kedua kakinya bengkak. Aku pun bertanya kepadanya, “Kenapa engkau lakukan sampai seperti ini wahai Rasulullah, padahal telah diampuni dosa-dosamu yang terdahulu dan yang akan datang?” Beliau menjawab, “Tidakkah bolehkah aku senang bila menjadi hamba yang bersyukur!”. (Muttafaqun ‘Alaih).
Rasulullah saw adalah seorang hamba Allah yang selalu bersyukur kepada Allah ta’ala. Beliau telah mengajarkan dan memberikan contoh teladan kepada umatnya bagaimana bersyukur kepada Allah yaitu dengan memperbanyak ibadah dan amal shalih kepada Allah ta’ala, serta meninggalkan maksiat. Meskipun dosa-dosa beliau telah diampuni oleh Allah ta’ala dan dijamin masuk surga, namun beliau tetap menjadi hamba yang bersyukur.
Orang yang tidak bersyukur berarti ia tidak mengingat Allah ta’ala. Dengan kata lain, orang yang melupakan Allah ta’ala. Orang seperti ini dikecam oleh Allah ta’ala. Maka hukumnya haram.
Allah ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu menjadi seperti orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19).
Selain itu, orang yang tidak bersyukur berarti orang yang kufur kepada nikmat Allah. Allah swt mengancamnya dengan azab yang pedih. Maka hukumnya haram.
Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambahkan (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (Ibrahim: 7).
Allah ta’ala mengecam orang-orang yang ingkar nikmat dengan firman-Nya yang diulang-ulang di berbagai ayat dalam surat Ar-Rahman, “Maka nikmat tuhanu yang manakah yang kamu dustakan?”
Bahkan Allah ta’ala memerintahkan Rasul-Nya untuk mengatakan atau menceritakan nikmat-Nya kepada orang lain dalam tujuan bersyukur kepada Allah. Hal ini sebagai bagian dari ungkapan rasa syukur kepada Allah ta’ala.