REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan, petani sawit membutuhkan pola kemitraan dengan perusahaan untuk membantu upaya percepatan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang ditargetkan mencapai 540 ribu hektare (ha).
Kementerian Pertanian juga telah menerbitkan Permentan Nomor 03 Tahun 2022 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan, Peremajaan, serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit. Beleid itu diharapkan bisa mendoorng kemitraan petani dan perusahaan sehingga memperlancar peremajaan sawit demi mendongkrak produktivitas.
Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementan, Hendratmojo Bagus Hudoro menjelaskan, total luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 16,38 juta hektare.
Dari data tersebut, kurang lebih 6,94 juta hektare merupakan perkebunan sawit rakyat. Seiring pertambahan usia tanaman, saat ini diperkirakan terdapat 2,8 juta hektare kebun sawit rakyat yang potensial untuk diremajakan.
“Dari 2,8 juta hektare potensi peremajaan sawit rakyat, sebagian besar merupakan kebun plasma dan swadaya dengan luasan 2,29 juta hektare. Disusul kebun dari pola perkebunan inti rakyat eks plasma (Pirbun) 0,14 juta hektare, dan plasma 0,37 juta hektare," kata Bagus, dalam webinar Forum Wartawan Pertanian, Kamis (28/4/2022).
Bagus mengatakan, target utama segi peremajaan sawit adalah kebun yang dikelola oleh rakyat. Semenjak 2020, Program PSR ditargetkan dapat menjangkau 540 ribu hektare kebun sawit rakyat sesuai arahan Presiden Joko Widodo. Setiap tahunnya pemerintah menargetkan 180 ribu hektare.
Namun, realisasi PSR sulit dicapai dengan berbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi di lapangan. Kementan pun mencatat, realisasi PSR tertinggi seluas 92.066 hektare pada 2020. Tetapi memasuki 2021, angka pencapaian PSR turun signifikan menjadi 27.747 hektare. "Penurunan ini menjadi catatan bagi kami agar pencapaian tahun-tahun ke depan harus bisa mengakselerasi pelaksanaan PSR," ujarnya.
Ia mengakui, tantangan terberat PSR dari aspek legalitas lahan. Di lapangan masih ditemukan kebun belum punya sertifikat hak milik, lahan terindikasi masuk kawasan hutan, dan adanya tumpang tindih kebun rakyat dengan HGU (Hak Guna Usaha) dan hak tanah lainnya,” jelasnya.
Beratnya tantangan yang dihadapi itu pun berdampak kepada realisasi PSR baru 1.582 hektare sampai April 2022. Salah satu upaya pemerintah mempermudah akses dan memperluas jangkauan PSR difasilitasi dengan terbitnya Permentan Nomor 03 Tahun 2022 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan, Peremajaan, serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit.
Dalam Permentan Nomor 3 Tahun 2022, mekanisme pengusulan PSR dapat melalui dua jalur yaitu jalur dinas daerah kabupaten/kota dan jalur kemitraan. Bagus menjelaskan, adanya jalur kemitraan membantu percepatan PSR. Melalui jalur ini, kelompok tani/gapoktan dapat menjalin kemitraan dengan perusahaan perkebunan lalu diusulkan kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Menurut Bagus, petani dan perusahaan dapat bekerjasama untuk mengkoordinasikan kelengkapan dokumen pengusulan PSR. Dokumen tersebut antara lain kriteria perusahaan perkebunan, perjanjian kerjasama perusahaan dan kelembagaan pekebun, legalitas perkebun dan kelembagaan pekebun, serta legalitas dan status lahan.
Direktur Eksekutif Gapki, Mukti Sardjono, menyambut baik jalur kemitraan dalam PSR sebagai upaya melibatkan perusahaan dalam program PSR. Kemitraan antara Perkebunan Besar dengan Petani Sawit merupakan upaya strategis dalam rangka meningkatkan kinerja Industri sawit dengan mensinergiskan kelebihan masing-masing pelaku usaha.
Kurun waktu 2016-2021, jumlah perusahaan sawit anggota Gapki yang menjadi mitra PSR berjumlah 68 perusahaan yang menggandeng 147 kelompok tani. Mukti menuturkan dengan kelebihan perkebunan besar dalam pengelolaan kebun, pengolahan, pemasaran serta fasilitas lainnya, kerjasama kemitraan akan dapat meningkatkan produktivitas kebun dan pendapatan petani pekebun.
“Gapki ingin kemitraan yang dikembangkan harus didasari saling menguntungkan dan berkesinambungan. Untuk itu perlu dibuat perjanjian kerjasama antara masing-masing pihak yang bersifat mengikat kedua belah pihak,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Rino Afrino, menepis anggapan bahwa petani tidak berminat ikut program PSR. Sebab, petani generasi kedua memiliki ekspektasi tinggi terhadap kebun sawitnya. "Mereka (petani) menginginkan produksi kebun yang lebih baik, nilai tambah tinggi, kepastian harga, dan legalitas lahan jelas," ujarnya.