Ahad 15 May 2022 10:27 WIB

Hubungan Sukarno dan Islam: Tanggapan untuk Ceramah Gus Baha

Sukarno adalah santri dari para tokoh pergerakan Islam

Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi lukisan Sukarno. Sukarno adalah santri dari para tokoh pergerakan Islam
Foto: ANTARA/Irfan Anshori
Ilustrasi lukisan Sukarno. Sukarno adalah santri dari para tokoh pergerakan Islam

Oleh : Syaiful Arif, santri NU, Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila

REPUBLIKA.CO.ID, Di sebuah video yang viral, KH Bahaudin Nursalim atau terkenal dengan Gus Baha membahas sejarah pergerakan nasional, terutama tentang kaum nasionalis dan Islam. Dinyatakan bahwa pergerakan nasional dimulai dari gerakan Islam, yakni Sarekat Islam yang berdiri pada 1912.

 Secara implisit beliau ingin menyanggah bahwa pergerakan nasional dan pendirian Negara Indonesia tidak dimulai dari gerakan kaum nasionalis. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan tokohnya Sukarno. 

Baca Juga

Tulisan ini ingin menanggapi pembahasan Gus Baha tersebut, dari perspektif seorang santri yang selama ini mendalami kajian sejarah dan Pancasila. Saya sendiri seorang santri Nahdlatul Ulama (NU) tulen.

Alumni Pesantren Ciganjur asuhan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), bahkan terhitung sebagai santri pertama sejak 2003 hingga beliau wafat pada 2009. Artinya, perspektif dan nilai-nilai yang dimuliakan antara saya dan Gus Baha sama. Bahkan telah lama saya ikut “ngaji virtual” pengajian Gus Baha, dan dalam hal ruhaniyah, saya mendaulat beliau sebagai Guru.  

Tentang pemikiran Gus Baha di video tersebut, saya juga sepakat. Beliau menganjurkan agar kebesaran Sukarno tidak dibatasi oleh partai politik, dalam hal ini PDI Perjuangan. Tentu semua orang sepakat, termasuk kalangan PDI Perjuangan sendiri. Sukarno adalah pendiri negara, pioneer bagi kemerdekaan bangsa, dan terutama penggali dasar negara: Pancasila. 

Mengapa kebesaran pendiri negara seolah dibatasi hanya di lingkaran partai dan kelompoknya semata? Pertanyaan ini semestinya kita ajukan kepada negara! Mengapa negara tidak menempatkan Sukarno, juga para pendiri negara yang lain seperti Bung Hatta, Soepomo, termasuk KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusomo, Radjiman Wediodiningrat, dan lain-lain sebagai negarawan yang kebesarannya diletakkan dalam kebesaran negara dan bangsa?  

Mengapa pidato Sukarno pada 1 Juni 1945 yang secara resmi ditetapkan oleh BPUPKI sebagai bahan utama perumusan dasar negara oleh Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945, tidak diakui sebagai “milik negara dan bangsa”, tetapi lebih sering dicurigai sebagai milik kaum nasionalis, bahkan sekadar milik PDI Perjuangan? Ini berarti, negara belum melaksanakan tugasnya untuk meletakkan fakta sebagai fakta, dan menghormati para pendiri negara sebagai pendiri negara, bukan hanya sebagai patron dari kelompok tertentu. 

Jika soal kebesaran Sukarno yang lebih besar dari kelompok tertentu, saya sepakat. Namun ada satu premis yang diajukan Gus Baha dalam ceramahnya tersebut, yang saya tidak sepakat.  

Beliau menyatakan bahwa pergerakan nasional dimulai dari gerakan Islam, yakni Sarekat Islam. Itu bisa dipahami. Sayang sebagai tokoh NU, Gus Baha justru tidak menyebut gerakan tokoh NU, yakni KH Wahab Hasbullah, yang pada 1916 telah membangun “Sekolah Kebangsaan” (Nahdlatul Wathon), sebagai pendidikan kebangsaan untuk santri yang menjadi embrio NU. Dengan mengajukan SI, Gus Baha lalu meniadakan peran Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Sukarno. 

Fakta sejarah yang dilupakan Gus Baha adalah, bahwa Sukarno yang nasionalis itu, justru “alumni” Sarekat Islam, dan murid dari HOS Cokroaminoto. Sebelum ke Bandung pada 1920-an dan menemukan ideologi nasionalisme dari Tiga Serangkai (Ki Hadjar Dewantara, Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker), Sukarno “mondok” di rumah Cokroaminoto di Surabaya sejak tahun 1916-1921. 

Baca juga: Keutamaan Membaca Surah Al-Kahfi pada Hari Jumat

Rumah Pak Cokro adalah markas besar SI. Di bawah gemblengan Cokroaminoto, Sukarno remaja (umur 15-20 tahun) mengenal ideologi politik pertamanya, yakni sosialisme Islam. Maka ideologi awal Sukarno ya Islam.

Itu tergambar dalam esai-esai awalnya di surat kabar terbitan SI, yakni Oetoesan Hindia, dimana Sukarno remaja sering menulis dengan menggunakan nama samaran “Bima”.

Salah satu kutipan esainya berbunyi begini: “Hancurkan segera kapitalisme yang dibantu oleh budaknya, imperialisme. Dengan kekuatan Islam, insya Allah itu segera dilaksanakan!” (Bernhard Dahm, 1969: 30) 

Dengan demikian, SI dan PNI memang bisa dibedakan. Namun pendiri PNI adalah tokoh didikan terbaik SI dan HOS Cokroaminoto. Itulah mengapa sebelum Sukarno mendirikan PNI, Pak Cokro pernah meminta Sukarno menjadi Ketua SI. 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement