Ahad 15 May 2022 15:51 WIB

Petani Menjerit Gara-Gara Pabrik Sawit Setop Beli TBS

Harga TBS juga turun akibat tidak terserap oleh pabrik.

Rep: Dedy Darmawan/ Red: Dwi Murdaningsih
Petani mengumpulkan buah sawit hasil panen di perkebunan Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Senin (9/5/2022).Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) berharap larangan ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dan produk-produk turunannya tidak berlangsung lama, karena akan mempengaruhi keseluruhan ekosistem industri sawit nasional.
Foto: ANTARA/Budi Candra Setya
Petani mengumpulkan buah sawit hasil panen di perkebunan Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Senin (9/5/2022).Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) berharap larangan ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dan produk-produk turunannya tidak berlangsung lama, karena akan mempengaruhi keseluruhan ekosistem industri sawit nasional.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyerapan tandan buah segar (TBS) dari petani mulai macet. Alhasil, harga TBS turun secara signifikan dan membuat petani semakin terjepit.

Dilarangnya ekspor minyak sawit (CPO) membuat kapasitas tangki di pabrik penuh. Hal ini pun membuat pabrik setop menyerap TBS dari petani.

Baca Juga

Sekretaris Jenderal, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, penyetopan pembelian TBS dari petani swadaya sudah terjadi di beberapa tempat. Beberapa pabrik menyetop pembelian karena harus menampung TBS dari kebun milik sendiri.

Adapun, rata-rata harga TBS dihargai mulai Rp 1.600 per kg hingga Rp 2.200 per kg karena penurunan permintaan dari pabrik. Padahal, menurut Darto, harga keekonomian berdasarkan ongkos produksi dan margin wajar seharusnya di kisaran Rp 3.500 per kg hingga paling mahal Rp 4.000 per kg.

"Larangan ekspor jangan terlalu lama jadi ini perlu dicabut. Jangka waktu yang tidak ada pembatasan jelas juga membuat adanya spekulasi bahwa ini berlangsung lama dan akhirnya pabrik tidak mau menerima buah dari luar kebunnya," kata Darto kepada Republika.co.id, Ahad (15/5/2022).

Kendati demikian, ia menuturkan, penurunan harga TBS saat ini juga terpengaruh dari harga CPO global yang mengalami tren penurunan. "Harga CPO saat ini juga lagi turun, berbeda sebelum ada larangan ekspor itu tinggi harganya," ucapnya.

Darto mengatakan, kerugian petani yang dialami selama dua pekan terakhir akibat larangan ekspor CPO semestinya mendapatkan perhatian dari pemerintah. SPKSI mengusulkan agar dana kelolaan BPDP KS bisa dialokasikan untuk membantu sarana produksi pertanian dan bantuan pupuk yang saat ini sangat mahal.

Dia juga mengecam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) yang justru tidak melakukan langkah bagi para perusahaan anggota yang menerapkan harga TBS di bawah kesepakatan sesuai yang diatur melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 1 Tahun 2018.

Perusahaan, kata Darto, juga tidak menawarkan solusi perbaikan tata kelola sawit ke depan setelah melihat banyaknya perusahaan yang hanya menerima buah TBS dari tengkulak. Itu membuat petani swadaya menjadi rentan karena harga ditentukan tengkulak.

"Padahal di dalam Permentan diatur pabrik-pabrik sawit membeli buah sawit dari kelembagaan petani pekebun yakni korporasi petani, tapi skema ini tidak berjalan," ujar dia.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung, mengatakan, pihaknya akan mengadakan aksi unjuk keprihatinan di Kementerian Koordinator Perekonomian pada Selasa (17/5/2022) sebagai sikap protes atas kebijakan larangan ekspor CPO.

"Harga sawit makin kacau," kata Gulat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement