REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ustaz Abdul Somad (UAS) menanggapi pernyataan Pemerintah Singapura melalui laman resmi Kementerian Dalam Negeri (MHA) yang disiarkan Selasa (17/5) lalu. Menurut UAS, pelbagai tuduhan Kemendagri Singapura cenderung mengungkit-ungkit persoalan lama.
Dalam siaran persnya, Kemendagri Singapura menyatakan bahwa UAS dikenal sebagai pencerah ekstremis dan mengajarkan segregasi, yang tidak dapat diterima dalam masyarakat multiras dan multiagama Singapura. Menurut mereka, UAS telah mengkhotbahkan bahwa bom bunuh diri adalah sah dalam konteks konflik Israel-Palestina dan dianggap sebagai operasi 'syahid'.
Namun, menurut UAS, masalah-masalah seperti fatwa bom syahid, “jin kafir”, atau sebutan “kafir” untuk non-Muslim sudah selesai. Menurut dia, penjelasan atau klarifikasi dari dirinya mengenai hal itu sudah disampaikan dalam berbagai video yang dapat diakses via internet.
“Semua soal itu sudah tuntas. Mereka tinggal tulis (cari) di Google, ‘Klarifikasi UAS tentang bom bunuh diri Palestina, jin dalam berhala, non-Muslim disebut kafir.’ Semoga mereka mendapat hidayah,” ujar UAS saat dihubungi Republika, Rabu (18/5).
Alumnus Universitas al-Azhar Mesir ini tercatat telah menghadiri atau diundang untuk berceramah di banyak kesempatan di Tanah Air, termasuk yang diadakan sejumlah instansi pemerintah pusat maupun daerah.
Karena itu, UAS mengaku heran dengan sikap reaktif Pemerintah Singapura. Tuduhan bahwa dirinya menyebarkan paham ekstremis dan segregasi tidak beralasan. “Serajin apa PNS Kemenlu Singapura sempat menonton tausiyah UAS? Maka siapa yang memanas-manasi?” tanya UAS retoris.
Sebelumnya, UAS pernah mengalami kendala saat memasuki beberapa negara. Misalnya, saat hendak menyambangi Timor Leste. UAS mengenang saat itu dirinya sempat tertahan di bandara satu jam lamanya. Sebab, menurut informasi yang diterimanya, ada pihak tertentu yang mengirimkan faksimile dari Jakarta. Isinya menuding UAS sebagai "teroris".
Alumnus Darul Hadis Maroko itu juga mengaku pernah “diusir” dari Swiss sesudah masuk faksimile dari Jakarta. Isinya memuat gambar UAS berceramah di Amsterdam, Belanda, dan "diusir".
“Siapa mengirim fax dari Jakarta? Sejarah akan membuktikan ‘sampah-sampah sejarah’,” kata dia.
Tuduhan ekstremis Singapura terhadap UAS ini juga bertolak belakang dengan pengakuan dari Malaysia. Sebab, belum lama ini UAS justru memperoleh gelar doktor kehormatan (Honoris causa) dari International Islamic University College Selangor. Kampus Malaysia itu memberikan gelar tersebut dengan sejumlah pertimbangan.
Di antaranya, UAS dipandang berhasil dalam menggerakkan dakwah Islam, khususnya di Asia Tenggara. Maka dari itu, IIUC Selangor menganugerahkan gelar doktor honoris causa dalam bidang Pengajian Islam atau Islamic Studies kepada mubaligh kelahiran Silo Lama, Asahan, Sumatra Utara itu.
Upacara pemberian gelar itu diselenggarakan pada 24 Januari 2022 di kampus IIUC Selangor. Penganugerahan gelar kehormatan tersebut juga dengan persetujuan pihak Kementerian Luar Negeri Malaysia.
Dalam surat yang ditandatangani Khaeriah Zaehera Abd Kayyum, Kepala Bagian Asia Tenggara Kemenlu Malaysia, menyebutkan bahwa UAS merupakan seorang pendakwah yang mendukung kian eratnya persahabatan antara Malaysia dan RI. Di samping itu, sumbangsihnya pada dunia dakwah Islam tidak perlu diragukan lagi.
"Ceramah beliau (UAS) tidak pernah menimbulkan kontroversi dan kandungannya (ceramah UAS) juga mengalakkan persahabatan serumpun antara kedua negara berteraskan Islam," kata Khaeriah.