REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keilmuan, kedudukan, kepercayaan orang terhadap cucu Nabi Muhammad ﷺ, al-Hasan dan al-Husain dibuktikan oleh banyak kesaksian. Misalnya kesaksian bahwa keduanya termasuk rujukan dalam meminta fatwa.
Dikutip dari buku Hasan dan Husain the Untold Story karya Sayyid Hasan al-Husaini, Mujahid menuturkan: Seseorang datang menemui al-Hasan dan al-Husain, lalu meminta-minta kepada keduanya. Keduanya berkata: “Sungguh, seseorang dilarang meminta-minta kecuali karena tiga alasan: dia memiliki kebutuhan yang mendesak, dia sedang menanggung beban berat, atau dia sedang dililit utang.” Al-Hasan dan al-Husain kemudian memberinya sedekah.
Lalu, orang itu menemul Ibnu Umar, dan Sahabat ini memberinya sedekah tanpa bertanya. Melihat demikian, orang itu berkata: “Tadi aku menemui kedua sepupumu, dan keduanya terlebih dahulu menanyakan alasanku meminta-minta, tetapi kamu tidak.” Ibnu Umar berkata: “Keduanya adalah putra (cucu) Rasulullah; keduanya penuh dengan ilmu.” (Tarikh Dimasyq)
Memang benar, dua cucu Rasulullah ini termasuk rujukan dalam bidang fiqih dan hukum, serta teladan dalam mewujudkan persatuan umat. Keduanya berusaha keras menyatukan kaum muslimin, bukan memecah-belahnya.
Salah satu buktinya tertera dalam sejumlah buku rujukan terpercaya. Abu Ja’far meriwayatkan dari ayahnya, ia menuturkan: “Al-Hasan dan al-Husain tetap bermakmum di belakang Marwan bin al-Hakam al-Umawi. Keduanya tidak mengulangi shalat mereka karena menganggap bemakmum dengan Marwan hukumnya sah.” (Al-Bidayah wan Nihayah) Adz-Dzahabi menyebutkan: Abu Ja’far ditanya: “Apakah keduanya mengulangi shalatnya setelah kembali ke rumah?” “Tidak, demi Allah,” jawabnya." (Tarikh al-islam karya adz-Dzahabi)
Al-Hasan dan al-Husain memiliki sejumlah murid, dan kepada merekalah keduanya mewariskan ilmu yang diwarisi dari sang kakek, Rasulullah ﷺ.
Di antara murid-murid al-Hasan bin Ali adalah putranya sendiri; al-Hasan, al-Musayyib bin Najabah, Suwaid bin Ghaflah, al-Alla bin Abdurrahman, asy-Sya’bi, Hubairah bin Yarim, al-Asbagh bin Nabatah, Jabir bin Khalid, Abul Haura, Isa bin Ma'mun bin Zurarah (Ibnul Ma'mun), Abu Yahya Umair bin Sa’id an-Nakha’i, Abu Maryam Qais ats-Tsaqafi, Thahrab al-Ijli, Ishaq bin Yasar yakni ayah Muhammad bin Ishaq, Sufyan bin al-Lail, Umar, dan Qais al-Kufi." (Tarikh Dimasyq)
Kekayaan intelektual al-Hasan, kedalaman pemahamannya tentang maslahat dan mafsadat, serta keluasaan wawasannya tentang tujuan syariat, semua itu terlihat jelas ketika dia memilih mengundurkan diri dan menyerahkan kekhalifahan kepada Mu’awiyah. Keputusan ini diambilnya demi menjaga kesatuan umat dan mencegah terjadinya pertumpahan darah di antara mereka. Dia lebih memprioritaskan hal itu ketimbang mengedepankan kepentingan personal untuk meraih tampuk kepemimpinan duniawi.
Mengenai al-Husain, al-Hafizh Ibnu Hajar menuturkan dalam al-Ishabah: “Al-Husain juga menghafal dan meriwayatkan hadits dari Nabi. Para imam penyusun kitab as-Sunan mencantumkan beberapa hadits darinya. Ia juga meriwayatkan dari ayahnya, ibunya, dan pamannya: Hind bin Abu Halah, serta dari Umar.
Mereka yang meriwayatkan dari al-Husain adalah saudaranya, al-Hasan, juga anak-anak al-Husain sendiri: Ali Zainal Abidin, Fathimah, dan Sukainah. Begitu pula cucu-cucu al-Husain: al-Baqir, asy-Sya’bi, Ikrimah, Sinan ad-Du-ali, Karz at-Taimi, dan yang lainnya.”
Al-Hafizh adz-Dzahabi menuturkan dalam Siyar A‘lamin Nubala: “Al-Husain meriwayatkan dari kakeknya, kedua orang tuanya, iparnya; Umar bin al-Khathab, dan beberapa guru lainnya. Adapun yang meriwayatkan darinya adalah kedua anaknya: Ali dan Fathimah, Ubaid bin Hanin, Hammam al-Farazdaq, Ikrimah, asy-Sya’bi, Thalhah al-Uqaili, sepupunya: Zaid bin al-Husain, cucunya: Muhammad bin Ali al-Baqir, putrinya: Sukainah, dan yang lainnya.”