Rabu 25 May 2022 14:43 WIB

Kepala BMKG Ajak Komunitas Internasional Bangun Sistem Peringatan Dini Handal

Akibat perubahan iklim, perisitiwa ekstrem semakin sering terjadi.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus Yulianto
Petugas Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat angka yang tertera pada alat pengukur kecepatan angin atau anemometer di Stasiun Klimatologi BMKG Karangploso, Malang, Jawa Timur, Rabu (25/5/2022). BMKG meminta masyarakat mewaspadai aliran angin siklonik di barat daya Pulau Sumatera yang mengakibatkan terjadinya angin kencang dengan kecepatan 5 hingga 45 kilometer per jam serta gelombang tinggi dengan ketinggian 4 hingga 5 meter di perairan Pulau Jawa dan Sumatera bagian Selatan.
Foto: ANTARA/Ari Bowo Sucipto
Petugas Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat angka yang tertera pada alat pengukur kecepatan angin atau anemometer di Stasiun Klimatologi BMKG Karangploso, Malang, Jawa Timur, Rabu (25/5/2022). BMKG meminta masyarakat mewaspadai aliran angin siklonik di barat daya Pulau Sumatera yang mengakibatkan terjadinya angin kencang dengan kecepatan 5 hingga 45 kilometer per jam serta gelombang tinggi dengan ketinggian 4 hingga 5 meter di perairan Pulau Jawa dan Sumatera bagian Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, BALI -- Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mendorong komunitas internasional untuk bergotong royong membangun Multihazard Early Warning System yang handal. Hal ini, kata dia, guna menghadapi berbagai bencana alam dan perubahan iklim. 

Hal tersebut disampaikan Dwikorita saat membuka acara Third Multi-Hazard Early Warning Conference (MHEWC-III) yang digelar di Bali. Acara tersebut dilaksanakan sebagai tindak lanjut Sendai Framework pada tahun 2015 silam dan merupakan bagian dari Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR).

Menurut Dwikorita, gotong royong menjadi sebuah pilihan terbaik di tengah situasi global yang tidak menentu akibat pandemi Covid-19. Kesenjangan antar negara, kata dia, semakin menonjol di mana masyarakat global dan tentunya banyak negara dan pemerintah kewalahan dengan krisis ekonomi global dan nasional.

"Pandemi secara serius telah mengurangi kapasitas dan kemampuan pemerintah dan negara secara umum dalam semua aspek kehidupan, terutama aspek sosial ekonomi. Ketahanan sosial ekonomi menjadi tantangan utama bagi banyak negara," kata Dwikorita dalam keterangan pers, Selasa (24/5). 

Bank Dunia, lanjut Dwikorita, merilis tingkat kemiskinan meningkat tajam menjadi 8 hingga 9 persen karena pandemi. Angka tersebut jauh melampaui peningkatan angka kemiskinan akibat krisis moneter global pada tahun 1998 yang sekitar 1,3 persen. Dengan demikian, angka kemiskinan yang ada saat ini hampir 6 sampai 7 kali lebih tinggi dari angka kemiskinan akibat krisis moneter sebelumnya. 

Dwikorita menyebut, bahwa tantangan tersebut semakin berat dan kompleks seiring dampak perubahan iklim yang juga semakin nyata dan dinamika lempeng tektonik planet bumi yang menunjukkan trend peningkatan keaktifan. Akibat perubahan iklim, perisitiwa ekstrem semakin sering terjadi dengan intensitas yang lebih tinggi dan durasi yang lebih lama. 

"Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) sendiri memproyeksikan bumi akan mengalami pemanasan jangka pendek hingga 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri lima tahun ke depan atau tahun 2026. Proyeksi tersebut memiliki peluang mencapai 50 persen," ujar Dwikorita. 

Selain itu, Katalog Komposit Sistem Seismik Nasional Lanjutan juga melaporkan bahwa terjadi peningkatan trend seismisitas secara global, yang juga dikuatkan dengan data historis BMKG. Hal ini benar-benar menjadi tantangan serius kita semua untuk mempercepat pencapaian Target G Kerangka Sendai, terutama untuk mempercepat pencapaian "Resiliency" atau  "Ketangguhan" terhadap bencana melalui penerapan peringatan dini di level nasional dan lokal. 

Dalam kesempatan tersebut, Dwikorita juga menyoroti pentingnya kolaborasi dan sinergi serta mengedepankan kearifan lokal sebagai manifestasi resiliensi dalam upaya selamat dari bencana. Penerapan Peringatan Dini Multi Bencana merupakan salah satu upaya utk mewujudkan resiliensi tersebut. Resiliensi atau ketangguhan, menurutnya, semakin kuat jika pengetahuan, budaya /kearifan lokal dipadukan dengan teknologi yang tepat.

Ditegaskan Dwikorita, bahwa kearifan lokal dan pengetahuan tradisional yang diwariskan turun temurun memiliki dampak signifikan terhadap keberhasilan peringatan dini bencana alam. Begitu juga dengan peran-peran komumintas dan organisasi kemasyarakatan. 

"Ini disebut hybrid socio-technical early warning system yang tidak hanya efektif, tetapi juga lebih berkelanjutan dalam penerapannya," ucapnya. 

Resiliensi kolaboratif, kata dia, juga seharusnya tidak hanya dikembangkan di level nasional saja. Tetapi, juga diimplementasikan untuk memperkuat kapasitas pemerintah lokal, dan pemimpin lokal atau adat, dan komunitas, berdasarkan pengetahuan dan kebijaksanaan mereka.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement