REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan, draft regulasi pelabelan risiko Bisfenola A (BPA) saat ini masih dalam proses revisi lanjutan di BPOM. BPA merupakan bahan kimia yang bisa menyebabkan kanker dan kemandulan, adalah bentuk nyata perlindungan pemerintah atas potensi bahaya dari peredaran luas galon guna ulang di tengah masyarakat.
Hal itu mencakup aturan kewajiban bagi produsen memasang label peringatan potensi bahaya BPA pada galon guna ulang berbahan polikarbonat, jenis plastik yang pembuatannya menggunakan BPA. Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM Rita Endang menjelaskan, pelabelan itu semata untuk perlindungan kesehatan masyarakat.
"Yang diinginkan BPOM sebatas produsen memasang stiker peringatan. Jadi tidak ada isu tentang sampah plastik sama sekali. Jangan diputarbalikkan," kata Rita dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (3/6/2022).
Pernyataan tersebut menanggapi penilaian industri air kemasan atas draft peraturan pelabelan risiko BPA. Dalam berbagai kesempatan, asosiasi industri mengkelaim pelabelan bakal memperbesar volume sampah plastik karena konsumen akan beralih ke kemasan galon sekali pakai yang bebas BPA. "Urusan sampah itu tanggung jawab masing-masing pelaku usaha, termasuk untuk sampah plastik sekali pakai. Produsennya yang bertanggung jawab agar sampah tersebut bisa didaurulang," ujar Rita.
Dia membantah, pelabelan BPA adalah vonis mati bagi industri air kemasan. Pasalnya pelabelan risiko BPA pada dasarnya hanya menyasar produk air galon bermerek alias punya izin edar. "Regulasi pelabelan BPA tidak menyasar industri depot air minum. Sejauh ini sudah ada 6.700 izin edar air kemasan yang dikeluarkan BPOM," kata Rita dalam sebuah webinar bertajuk 'Sudahkah Konsumen Terlindungi dalam Penggunaan AMDK'.
Rita menjelaskan, alasan rancangan regulasi pelabelan BPA menyasar produk galon guna ulang, di antaranya saat ini sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-harinya mengkonsumsi air kemasan bermerek. Dari total 21 miliar liter produksi industri air kemasan per tahunnya, katanya, 22 persen di antaranya beredar dalam bentuk galon guna ulang, yang mana 96,4 persen berupa galon berbahan plastik keras polikarbonat. Adapun hanya 3,6 persen yang PET (Polietilena tereftalat) atau jenis kemasan plastik bebas dari BPA.
Menurut Rita, pelabelan BPA juga bertujuan mendorong lahirnya iklim kompetisi yang lebih sehat pada industri air kemasan bermerek, karena industri air kemasan bakal terpacu untuk memasarkan produk dan kemasan air galon yang aman dan bermutu, sehingga menguntungkan masyarakat. Di sisi lain, pelabelan risiko BPA juga bertujuan mendidik masyarakat sekaligus memenuhi hak konsumen untuk tahu detail produk yang mereka konsumsi.
Sebaliknya, langkah itu juga melindungi pelaku usaha dan pemerintah terhadap potensi tuntutan masyarakat (class action) pada masa datang. Dalam draft revisi peraturan BPOM yang dipublikasi pada November 2021, BPOM mewajibkan produsen air kemasan yang menggunakan galon berbahan plastik polikarbonat untuk memasang label peringatan "Berpotensi Mengandung BPA", kecuali mampu membuktikan sebaliknya. Draft juga mencantumkan masa tenggang (grace period) penerapan aturan selama tiga tahun sejak pengesahan.