REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Founding Partner AC Venture Pandu Patria Sjahrir mengingatkan para pendiri perusahaan rintisan atau startup untuk mewaspadai fenomena bubble burst yang terjadi belakangan ini. Menurut Pandu, bubble burst disebabkan oleh naiknya suku bunga bank sentral AS The Federal Reserve dan mengakibatkan biaya modal naik sejak November-Desember 2021. Hal itu kemudian membuat banyak investor memindahkan asetnya dari perusahaan dengan pertumbuhan yang tinggi (high growth) dan mencari perusahaan dengan aset yang aman seperti komoditas.
"Banyak yang lari ke komoditas, juga precious metal, kepada asset class yang lain. Nah untuk perusahaan teknologi yang sangat high growth dan benefit dari low cost environment, itu mereka mengalami penurunan karena banyak investor lari," ujar Pandu dalam keterangan di Jakarta, Jumat (24/6/2022).
Fenomena bubble burst menurut Investopedia.com adalah fenomena di mana kondisi bisnis cepat mengalami kenaikan namun cepat juga mengalami penurunan. Namun, menurut pria yang juga Managing Partner di Indies Capital itu, saat ini justru menjadi waktu yang sangat menarik untuk melihat perkembangan startup, karena masih adanya pertumbuhan di sektor teknologi.
"Apa sih yang berubah selama 4-5 bulan terakhir, karena pertumbuhannya masih ada. Banyak perusahaan sektor teknologi ini. Menurut saya sangat bagus untuk melihat nilai yang ada pada sektor teknologi," kata Pandu.
Meski terlihat masih menggiurkan, Pandu juga mewanti-wanti pendiri atau founder startup bahwa investor akan lebih berhati-hati. Investor, menurutnya, kini cenderung mencari startup yang bisa menjadi solusi permasalahan yang ada pada masyarakat dari hulu ke hilir.
Dalam menghadapi bubble burst, Pandu pun memberikan tiga tips untuk pendiri startup. Pertama mereka harus benar-benar dilihat apakah bisnis mereka mampu menghasilkan omzet atau tidak.
"Ini kadang dianggap kita harus membeli pangsa pasar. Tapi yang paling penting adalah produk market fit-nya sudah pas atau belum? Jadi Anda harus bisa belajar beradaptasi yang sangat cepat untuk melihat 'Eh saya bisa gak ya menghasilkan profit dari bisnis saya sekarang ini?," ujar Pandu.
Kedua, para founder juga harus bisa membaca dari sisi sentimen investor bahwa mereka tidak hanya cari perusahaan yang tumbuh saja, namun juga mencari keuntungan.
"Bisa gak Anda untung sekarang? Unit economic Anda bagaimana? Jadi itu juga harus dijadikan top of mind," katanya.
Terakhir, para founder jangan terus menggantungkan diri pada pendanaan dari investor. Menurut Pandu, pendiri startup harus bisa menggunakan uang yang ada untuk terus diputar dan diinvestasikan ulang untuk pertumbuhan perusahaan mereka.
"Jadi kalau sekarang misal 'Oh saya harus (dapat pendanaan) seri A, seri B, seri C. Paling enak kalau bisa dari pre-seri A eh udah bisa loncat, nanti seri B, seri C. Bahasanya skip round, sebenarnya buat para shareholder, atau owner atau founder ini juga lebih bagus karena Anda punya equity lebih banyak di perusahaan Anda. Jadi Anda actually have a very good defensible business model," ucap Pandu.
Baca juga : Singapura Food Agency Akui Kelayakan Ekspor Produk Unggas Indonesia