JAKARTA -- Kasus promosi Hollywings yang menawarkan promo gratis minuman alkohol bagi setiap orang bernama Muhammad mendapat kecaman keras dari masyarakat. Warganet pun tidak tinggal diam dengan menggeruduk akun media sosial Hollywings.
Meski sudah meminta maaf karena menggunakan nama yang dimuliakan umat Islam untuk kepentingan produk minuman keras (miras), namun hal itu tidak membuat kegeraman masyarakat berhenti. Bahkan Himpunan Advokat Muda Indonesia (HAMI) melaporkan kasus itu ke Polda Metro Jaya.
Di Twitter, akun @holywingsindo juga banyak dikecam warganet. Seperti akun @irwank2k2 yang mendesak aparat penegak hukum untuk bergerak cepat menangani kasus itu. "Proses hukum untuk kalian para pelaku penistaan agama, harus dilanjutkan. Enak saja menghina Rosulullah, cuma minta maaf tanpa ada hukuman yang keras."
Bahkan tidak sedikit warganet yang mengaitkan tindakan Hollywings dengan kelakukan Arswendo Atmowiloto. Persamaan kasus yang menjerat Hollywings dan Arswendo adalah subjeknya sama-sama nama Muhammad.
Akun @ekowboy2 menulis, "Zaman Orba, Arswendo divonis lima tahun penjara karena membuat angket Nabi Muhammad. Ini jelas dengan maksud melecehkan Nabi Muhammad untuk promosi miras, mengapa tidak ada ghiroh aparat menempuh langkah hukum!!!"
Kasus yang menjerat Arswendo terjadi pada 1990. Kala itu, Majalah Monitor membuat sebuah angket bernama 'Kagum 5 Juta'. Angket tersebut bertujuan untuk mengetahui sosok yang dikagumi oleh pembaca Majalah Monitor. Posisi Arswendo adalah pemimpin redaksi.
Kebijakannya membuat angket adalah untuk menambah oplah majalah. Angket yang berisi hadiah uang tunai itu ternyata menimbulkan kontroversi. Hal itu karena hasil angket yang dipublikasikan dengan judul 'Ini Dia: 50 Tokoh yang Dikagumi Pembaca Kita' edisi 15 Oktober 1990 menempatkan nama Arswendo di atas mengalahkan Nabi Muhammad SAW sebagai sosok yang paling dikagumi.
Arswendo menempati peringkat ke-10 dan Nabi Muhammad di urutan ke-11. Sementara itu, pembaca menempatkan Presiden Soeharto di urutan pertama. Pemberitaan itu ternyata tidak disukai penguasa. Tentu saja hal itu juga membuat masyarakat marah hingga pemerintah Orde Baru bergerak cepat.
Arswendo pun akhirnya dibawa ke meja hijau untuk mengadili perbuatannya. Dia dijerat dengan tuntutan Pasal 156a KUHP dengan hukuman lima tahun penjara, dan Majalah Monitor diberedel yang ditandai SIUPP dicabut oleh Departemen Penerangan pimpinan Harmoko. Namun dalam perjalannya, Arswendo dihukum lebih karena penegak hukum beralasan demi ketertiban umum.