Selasa 28 Jun 2022 01:30 WIB

Fenomena Aurora Merah Darah Berubah di Langit Selandia Baru, Apa Itu?

Ilmuwan menemukan fenomena baru bernama STEVE.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani / Red: Dwi Murdaningsih
Gambar aurora yang diambil di Selandia Baru, menunjukkan busur aurora merah (kiri), cahaya langit yang disebut STEVE (tengah), dan busur parsial dengan struktur pagar kayu hijau
Foto: martinis et all
Gambar aurora yang diambil di Selandia Baru, menunjukkan busur aurora merah (kiri), cahaya langit yang disebut STEVE (tengah), dan busur parsial dengan struktur pagar kayu hijau

REPUBLIKA.CO.ID, SELANDIA BARU -- Pada 17 Maret 2015, busur cahaya berwarna merah darah memotong langit ratusan mil di atas Selandia Baru. Selama setengah jam berikutnya, seorang pengamat langit amatir mengamati busur itu saat berubah di depan matanya. Peristiwa itu menjadi salah satu misteri atmosfer paling membingungkan di Bumi.

Dilansir dari Live Science, Kamis (23/6/2022), gambar yang dirilis baru-baru ini mengungkapkan pita cahaya yang menakutkan itu dikenal sebagai strong thermal velocity enhancement (STEVE) atau peningkatan kecepatan termal yang kuat.

Baca Juga

Ini adalah keanehan atmosfer yang pertama kali dijelaskan pada 2018, setelah pemburu aurora amatir melihat aliran sempit busur cahaya ungu tipis melintasi langit di atas Kanada utara.

Para ilmuwan yang mempelajari fenomena tersebut segera mengonfirmasi bahwa STEVE bukanlah aurora. Aurora adalah cahaya multi-warna yang muncul di garis lintang tinggi ketika partikel matahari bertabrakan dengan atom tinggi di atmosfer bumi. Sebaliknya, STEVE adalah fenomena terpisah dan unik yang “sama sekali tidak diketahui” oleh sains.

Tidak seperti cahaya utara, yang cenderung berkilau dalam pita lebar cahaya hijau, biru atau kemerahan tergantung pada ketinggiannya, STEVE biasanya muncul sebagai pita tunggal cahaya putih keunguan yang menusuk lurus ke atas sejauh ratusan mil.

Sekarang, penelitian baru yang diterbitkan dalam jurnal Geophysical Research Letters telah menghubungkan STEVE dengan sub-aurora lain, yang dikenal sebagai  stable auroral red (SAR) atau busur merah aurora stabil, untuk pertama kalinya. 

Dalam studi baru, penulis membandingkan rekaman pengamat dari Selandia Baru Maret 2015 dengan pengamatan satelit kontemporer dan data dari pencitraan semua langit di University of Canterbury Mount John Observatory terdekat. Menggabungkan ketiga sumber ini memberi para peneliti pandangan yang komprehensif tentang penampilan tak terduga STEVE malam itu.

Pertunjukan langit malam itu dimulai dengan munculnya busur SAR berwarna merah darah yang menukik setidaknya 185 mil (300 kilometer) di atas Dunedin, Selandia Baru. Data satelit menunjukkan bahwa kemunculan busur itu bertepatan dengan badai geomagnetik yang kuat  (hujan partikel surya bermuatan ke atmosfer atas Bumi ) yang berlangsung selama kurang lebih setengah jam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement