Senin 04 Jul 2022 11:37 WIB

Benarkah Perempuan dalam Masa Iddah Dilarang Keluar Rumah? 

Iddah sejatinya hanya disyariatkan bagi perempuan tidak untuk laki-laki.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Ani Nursalikah
Muslimah bekerja (ilustrasi). Benarkah Perempuan dalam Masa Iddah Dilarang Keluar Rumah? 
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Muslimah bekerja (ilustrasi). Benarkah Perempuan dalam Masa Iddah Dilarang Keluar Rumah? 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam Islam, setelah perceraian atau istri ditinggal meninggal suami, maka ada proses yang disebut dengan iddah. Iddah sejatinya hanya disyariatkan bagi perempuan tidak untuk laki-laki, mengapa demikian? 

Ustadz Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam menjelaskan, setelah perceraian perempuan memang diwajibkan untuk mengikuti aturan-aturan iddah, seperti tidak boleh berhias dan tidak boleh keluar dari rumah. 

Baca Juga

Tujuan baiknya disyariatkannya iddah adalah agar jika ada proses rujuk atau kembali menjadi suami-istri, akan lebih cepat dan mudah. Sebagai konsekuensi dari kewajiban ini, perempuan harus memperoleh rumah dan nafkah yang cukup. 

Dalam sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah, ia bercerita bibinya dicerai dan keluar rumah untuk memetik kurma. Di jalan, ia dihardik seseorang karena keluar rumah.

Kemudian ia mendatangi Rasulullah SAW dan menceritakan kejadian yang menimpanya dan Nabi berkata, "Ya, Anda (boleh keluar) untuk memetik kurmamu itu. Dengan demikian kamu bisa bersedekah atau berbuat baik (kepada orang dengan kurmamu itu),". 

Berbeda dari laki-laki, Nabi Muhammad SAW justru dengan tegas mempersilakan perempuan di masa iddah untuk keluar rumah melakukan sesuatu yang bisa memberi manfaat bagi dirinya atau orang lain. Ini dinilai Ustadz Faqih sebagai sesuatu yang lebih fundamental bahwa perempuan pada masa apapun tetap menjadi manusia yang utuh yang memiliki kewajiban untuk dirinya, pasangan, keluarga, dan lingkungan. 

Termasuk pada masa iddah ini, di mana kebanyakan orang menganggap perempuan harus memperhatikan relasinya dengan sang suami, dilarang keluar rumah agar mudah bagi suami untuk kembali rujuk jika ia menghendaki. 

Dalam teks hadits di atas, perempuan tetap bisa memiliki hak untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya. Seperti keluar rumah, bekerja, berkebun, memetik kurma, atau aktivitas lainnya. Ustadz Faqih menilai harusnya pelarangan-pelarangan terhadap aktivitas perempuan memikirkan hak-hak dasarnya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement