REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kurban digital melalui lembaga yang amanah dan profesional itu diperkenankan menurut fikih. Apa saja alasannya?
Ustaz Oni Syahroni dalam buku Fikih Muamalah Kontemporer menjelaskan sejumlah hal yang membolehkan qurban digital. Pertama, keterangan dalam aplikasi yang diketahui oleh pequrban yang menunjukkan bahwa antara ijab pihak yang berqurban dan qabul mustahiq itu sama.
Dan itu menunjukkan bahwa pihak yang berkurban berdonasi dengan kerelaan hatinya adalah ijab qabul yang sah. Kedua, serah terima tidak terbatas pada fisik qurban. Tetapi yang menjadi tolak ukur adalah perpindahan kepemilikan dari donatur kepada mustahik melalui lembaga amil zakat yang amanah.
Sebagaimana pernyataan DSN MUI, "Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad). Akad dituangkan secara tertulis melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern,".
Ketiga, diperkenankan dalam Islam seseorang berqurban dengan cara mewakilkan kepada pihak lain untuk melakukan penyembelihan sekaligus mendistribusikan dagingnya untuk masyarakat dan para mustahik.
Lebih afdhal lagi jika yang berkurban tersebut ikut menyembelih qurbannya atau menyaksikannya. Sebagaimana Rasulullah SAW pernah berqurban 100 unta, beliau menyembelih 63 ekor unta dan mewakilkan kepada Sayyidina Ali untuk menyembelih sisanya.
Keempat, pengelola kurban bisa menyediakan biaya pemotongan dan distribusinya. Di antaranya dari pihak yang berqurban. Kelima, penyaluran hewan qurban melalui LAZ yang amanah lebih menghasilkan banyak maslahat.