"Bu, tolong anaknya jangan berisik", kata seorang bapak yang sepertinya pengurus masjid, saat saya dan keluarga singgah di masjid besar dekat tempat wisata. "Iya, pak", jawab saya.
Masjid masih tampak lengang walau beberapa menit lagi adzan dzuhur akan berkumandang. Anak-anak saya selalu senang datang ke masjid. Senang dengan luasnya masjid, melihat yang berwudhu, melihat yang sholat, kadang ikut sholat juga. Tiba-tiba, sang bapak memanggil kembali,
"Bu, bu, anaknya nggak boleh masuk masjid. Di teras aja. Sholatnya gantian aja sama bapaknya". Saya tercengang. Pengurus masjid sebesar ini, di jaman sekarang masih berpikiran seperti itu.
Pikiran saya melayang kepada kisah-kisah bagaimana Rasulullah saw bersikap terhadap anak-anak yang datang ke masjid. Disampaikan oleh Syaddad bin Hadi, ketika itu Rasulullah mengimami shalat di siang hari –Dhuhur atau Ashar. Dalam shalatnya kala itu, beliau menyertakan salah satu cucunya –Hasan atau Husain. Syaddad kala itu turut menjadi makmum dalam shalat tersebut.
Dilanjutkan oleh Syaddad, “Nabi SAW meletakkan cucunya (di samping beliau), lalu beliau bertakbir.” Shalat pun didirikan. Kemudian, beliau melamakan salah satu sujud dalam rakaat tersebut. Disebutkan dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad ini, “Beliau melamakan salah satu sujudnya, sehingga aku mengangkat kepalaku.”
Maksudnya, Syaddad mengangkat kepala karena mengira bahwa Rasulullah sudah bangun dari sujud dengan suara yang lirih sehingga Syaddad tidak mendengar suara Rasul. Ternyata, Rasulullah Saw masih dalam keadaan sujud. Namun, “Aku melihat anak itu (cucu Nabi) tengah berada di atas punggung Rasulullah Saw.” Lantaran Nabi masih dalam keadaan sujud, Syaddad pun kembali ke posisi sujud seperti sedia kala.
Seusai shalat, para sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw sebagaimana disebutkan dalam hadits yang dikeluarkan pula oleh Imam an-Nasa’i ini, “Wahai Rasulullah, dalam salah satu sujudmu tadi, engkau sujud dengan lama,” demikian kata sahabat. Lanjut mereka, “Sehingga kami mengira ada sesuatu yang terjadi. Apakah ada wahyu yang sedang diturunkan kepadamu?”
Jawab sang Nabi lugas, “Semua itu tidak terjadi,” akan tetapi, lanjut beliau, “anakku (cucuku) ini telah menaiki punggungku.” Jadi, itulah alasan mengapa baginda Rasulullah Saw melamakan salah satu sujudnya. Pungkas beliau menerangkan, “Sehingga aku tidak ingin memotongnya sampai ia puas.”
Itu baru satu kisah dari banyak kisah lainnya tentang kelembutan Rasulullah saw memperlakukan anak-anak yang datang ke masjid. Begitu lemah lembut dan penuh kasih sayang sikap Rasul kepada anak-anak, bahkan kala beliau sholat. Islam justru menganjurkan kita untuk mengenalkan masjid kepada anak-anak.
Di masjid, anak-anak bisa melihat dan memperhatikan orang-orang yang sedang beribadah, baik itu sholat, membaca quran, atau mengkaji ilmu. Pengenalan ini bertujuan anak-anak dekat hatinya dengan masjid, dan akan ringan datang ke masjid kala waktu umurnya sudah mumayyiz, remaja dan dewasa.
Jika dari kecil anak-anak sudah dibentak, dihardik atau diperlakukan tidak menyenangkan kala datang ke masjid, akankah mereka senang datang ke masjid ketika besarnya? Wajar jika kini kita lihat mall, tempat konser, tempat main game jauh lebih ramai didatangi, para penjaga mall, tempat konser dan tempat main game jauh lebih ramah.
Sudah waktunya kita ubah mindset kita tentang hal ini. Anak-anak adalah penerus kita. Merekalah yang kelak akan menjadi imam sholat, menjadi imam negeri. Tak maukah kita masjid-masjid kita penuh diisi oleh generasi mudanya, bukan Cuma para kakek atau nenek? Ramahlah pada anak-anak, ingatkan dan bimbing mereka dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Sehingga tak ada trauma pada masjid atau pengurusnya. Mari bangun masjid-masjid yang ramah anak.
Wallahu’alam bish shawab.
Pengirim: Fatimah Azzahra, S. Pd (Guru)