Dunia anak merupakan dunia yang menggembirakan serta mengasyikan. Fase anak-anak adalah fase yang paling menentukan terhadap sikap dan karakter. Anak cenderung imitatif (meniru) terhadapa apa yang mereka lihat dan dengar. Proses imitatif dimulai dari lingkungan keluarga (orang tua) dan lingkungan sekitar.
Lingkungan sosial yang lain mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan pribadi anggota keluarga, sehingga perlu adanya kerjasama antara keluarga dan masyarakat di dalam membina anggota-anggota keluarga yang menjadi anggota masyarakat itu sendiri.
Kerjasama ini dilakukan dengan cara menciptakan suatu kondisi masyarakat yang betul-betul menggunakan nilai-nilai dan norma yang telah ditetapkan, sehingga output pendidikan keluarga dapat menyambung dengan proses yang terjadi pada kehidupan masyarakat.
Pemerintah dalam hal ini mempunyai fungsi dan peran untuk memimpin, mengatur, membimbing, dan menunjukkan arah proses pendidikan yang harus dilaksanakan di dalam keseluruhan lembaga yang terdapat pada masyarakat, sehingga penyimpangan dan salah didik tidak akan terjadi.
Keluarga dan masyarakat harus bertanggung jawab atas kualitas karakter dan sikap anak-anaknya dalam ranah sosial maupun ranah spiritual. Kita bisa melihat realita sekarang, banyak anak yang mulai krisis moral dan krisis spiritual.
Tidak dapat dipungkiri bahwa di era digital seperti sekarang ini arus informasi begitu mudah dan cepat Kita peroleh, tidak terkecuali juga terhadap anak-anak yang rentan terhadap distorsi informasi. Kemajuan teknologi yang semakin canggih tak dapat dibendung lagi.
Teknologi masa kini menghadirkan fitur-fitur yang memudahkan penggunanya dalam mengakses beberapa platform yang sudah disediakan. Dengan hadirnya kemajuan teknologi, maka timbullah pertanyaan “Ia menjadi masalah atau menjadi solusi?.”
Dalam menjawab pertanyaan tersebut Kita harus memiliki pisau analisis yang tajam. Jika teknologi menjadi masalah maka yang harus dibedah adalah dari segi pengguna dan pengawasannya.
Masalah akan timbul ketika penggunanya belum merasa membutuhkan produk kecanggihan teknologi (gadget). Segmentasi pengguna gadget harus selektif serta pengawasan yang ketat.
Anak-anak yang seharusnya melakukan aktivitas bermain sesuai usianya kini cenderung terbawa arus teknologi bahkan dunia mereka tenggelam oleh teknologi (gadget) yang dengan mudahnya mereka dapatkan dari orangtua. Memang, gadget sekarang sudah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat dewasa ini.
Dampak dari pemakaian gadget yang belum siap bagi anak-anak secara psikis merupakan sebuah masalah yang urgent untuk ditangani. Dari beberapa kasus yang muncul terhadap anak-anak yang menggunakan gadget, mayoritas mereka memakai gadget hanya untuk bermain game online maupun game offline.
Anak-anak yang cenderung imitatif (meniru) terhadap apa yang mereka lihat dan dengar kini mulai terasa dampaknya secara psikis dan sosialnya. Mereka yang sudah menjadi pecandu game online cenderung lebih suka menyendiri karena sudah nyaman dengan game yang mereka mainkan dan tidak peduli dengan kondisi sekitarnya. Fitur yang ada pada salah satu game online yang sedang digandrungi sekarang adalah para pengguna game bisa berkomunikasi langsung melalui percakapan audio.
Game memang tidak memandang segmentasi usia penggunanya, bahkan anak-anak bisa bermain leluasa tanpa ada zonasi waktu dengan orang dewasa yang tentunya dari segi komunikasi bahasa berbeda.
Bahasa yang dipergunakan pun tentunya berbeda, inilah awal mula anak-anak meniru terhadap apa yang ia lihat pada permainan game maupun apa yang anak-anak dengarkan terhadap gaya bahasa yang dipakai oleh orang dewasa melalui percakapan yang ada pada game tersebut.
Anak-anak dirasa belum begitu membutuhkan gadget sebagai kebutuhan primernya. Orangtua harus bisa memilah dan memilih kebutuhan anak-anaknya.
Sudah banyak anak-anak yang dengan mudahnya melakukan kekerasan fisik maupun secara verbal, karena fase anak-anak fase imitatif, apa yang ia lihat dan dengar maka akan terekam pada memorinya dan cenderung akan menirunya. Pengawasan orangtua harus ketat terhadap tumbuh kembang anaknya agar tidak menyimpang dari norma sosial dan norma spiritual.
Batasi anak-anak dalam penggunaan gadget, sampaikan secara lembut dan ajak anak-anak sibuk dengan aktivitas bermain yang menggembirakan. Keluarga dalam hal ini orangtua harus tegas terhadap anak-anaknya bahwa seusia mereka belum begitu membutuhkan gadget, kalaupun butuh harus tetap dalam pengawasan orangtua supaya tidak terjadi penyimpangan terhadap apa yang mereka lihat dan dengar selama berselancar menggunakan gadget untuk mengakses informasi ataupun bermain game.
Ciptakan iklim keluarga yang nyaman dan menyenangkan untuk anak-anak, beri mereka kesibukan yang produktif jangan beri celah kepada anak-anak ketergantungan terhadap gadget yang akhirnya membuat mereka pasif. Butuh konsistensi dan keberlanjutan program mendidik anak yang menggembirakan. Kasus kekerasan anak yang marak terjadi tentunya membuat keprihatinan dan kekhawatiran tersendiri bagi orangtua serta masyarakat. Proteksi terhadap kekerasan anak harus lebih diperkuat lagi, jangan dianggap sepele, karena dampak kekerasan yang diterima oleh anak-anak akan terekam dan membekas yang akhirnya muncul rasa ketakutan dan traumatik yang akan menggangu perkembangan psikologinya.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan game online menjadi penyebab terbesar terjadinya kasus-kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak-anak. Sebanyak 30 persen kejahatan seksual terjadi berawal dari game online yang berisikan konten pornografi. Saat ini, relugasi yang ada seperti Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik belum cukup mampu mengatasi dampak negatif game online terhadap anak-anak.
Akses untuk mendapatkan game online saat ini sangat mudah tanpa ada kontrol yang baik dari pemerintah. Regulasi yang ada, belum sampai pada tindakan untuk menyaring game-game online yang berasal dari luar negeri.
Kemajuan teknologi yang begitu pesat memudahkan anak-anak untuk mengakses game yang digemarinya. Akibatnya, anak-anak sangat mudah terpapar efek negatif tanpa proteksi maksimal dari pemerintah. Game dengan konten kekerasan yang paling banyak diakses oleh anak-anak.
Rowell Huesmann dalam jurnalnya menyatakan bahwa sejak awal tahun 1960-an, bukti-bukti penelitian telah menunjukan bahwa keterpaparan terhadap kekerasan di televisi, film, video game, telepon selular, dan internet meningkatkan risiko perilaku kekerasan bagi para penggunanya.
Pengirim: Ade Irmanus Sholeh, Kepala Bidang Pendidikan Motivator Anak & Mentor di Sekolah Alam Darul Huffadz Sirampog